Alhamdulillah, grup research telah Berjaya mendatangkan suatu artikel untuk bacaan bersama. Sila baca dengan hati yang terbuka dan boleh dibincangkan secara ilmiah, tanpa emosi mana poin-poin yang diutarakan. Nasihat saya, jangan cepat melafazkan (atau menulis) dan menuduh SYIRIK kepada sesuatu yang kadang-kadang, ilmu kita tidak mencukupi mengenainya.
Sila klik link ini untuk tatapan anda: http://www.aswj-rg.com/2014/08/hukum-mengucapkan-madad-ya-rasulullah-pencerahan-buat-abu-anas-madani.html
Atau baca artikel di bawah:
HUKUM-MENGUCAPKAN “MADAD YA RASULULLAH” PENCERAHAN BUAT ABU ANAS MADANI
Status facebook yang dimaksudkan boleh dilihat disini: https://www.facebook.com/AbuAnasMadani/posts/942200195806615:0
Tawassul dan istighatsah kepada para nabi atau orang shalih yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf yang shalih. Dalam berbagai macam redaksi tawassul dan istighatasah, terus dipraktekkan dari generasi salaf hingga saat ini oleh mayoritas umat muslim di berbagai belahan dunia ini, tak ada yang mengingkarinya kecuali segelintir kaum yang tidak memahami subtansi tawassul dan istighatsah dengan baik dan benar sesuai pemahaman ulama salaf yang shalih.
Berikut di antara kekeliruan segelintir kaum itu dalam memahami terminologi istighatsah dengan teks “al-Madad atau adrikni “ :
Dr Abu Anas mengatakan :
Sebahagian
melaungkan qasidah ini tanpa ada niat memohon pertolongan Rasulullah sallallahu
‘alaihi wasallam, dan kita berharap inilah yang diyakini kebanyakan mereka yang
membaca Qasidah itu. Akan tetapi terdapat sebahagian mereka yang benar-benar
meyakini bahawa boleh meminta tolong daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam selepas kewafatan baginda kerana mereka berpegang bahawa Nabi
sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup di alam kubur, dan mampu mendoakan
umatnya sebagaimana ketika baginda sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.
Kami jawab :
Yang kedua pun tak salah menurut ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas kewafatannya, juga tidak meyakini sumber atau penciptaan pertolongan maupun mudarat dari dzat Rasulullah sendiri melainkan meyakini bahwa pertolongan, bantuan, manfaat ataupun mudarat (bahaya) hanyalah dari Allah semata yang menciptakannya. Hal ini sesuai pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah sejak masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini dan dipegang oleh majoriti umat muslim di seluruh penjuru dunia ini.
Sebelum kami
menjelaskan secara detail, ada baiknya Dr Abu Anas merenungi hadits-hadits
sahih berikut ini :
إن لله ملائكةً في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من
ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد: أعينوا عباد الله
“ Sesungguhnya
Allah memiliki malaikat di bumi selain Hafadzah yang menulis daun-daun yang
jatuh dari pohonnya, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang, maka
hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku wahai para hamba Allah “.[1]
Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta pertolongan kepada orang yang tidak hadir di hadapannya, entah itu wali Allah atau pun malaikat dan ini merupakan sebahagian dari istighatsah (meminta pertolongan). Nabi telah mengajarkannya pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulama salaf di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam Nawawi. Bahkan dalam riwayat yang lain hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengulas bahwasanya Imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Apakah Imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik karena beristighatasah dengan malaikat sebagaimana keterangan al-Albani dalam kitab as-Silsilah adh-Dha’ifah?
وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ
الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ
كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
“ Dan berkata : “
Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga keringat mencapai
telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka beristighatsah dengan
Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi Muhammad “. (HR. Bukhari)
Jika meminta pertolongan kepada nabi yang sudah wafat dilarang, lalu kenapa mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada Allah secara langsung? atau apakah syirik boleh dilakukan di akhirat dan tidak boleh dilakukan di dunia?? Seandainya meminta pertolongan kepada Nabi yang sudah wafat itu haram dan syirik, sepatutnya juga syirik jika dilakukan di akhirat nanti. Kecuali jika mereka menghukumi syirik di dunia dan tidak syirik di akhirat.
Nabi juga pernah mengucapkan:
اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا
غيرآجل
“ Ya Allah,
turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi
manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad
yang sahih)
Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).
Apakah Nabi kita menjadi musyrik dengan ucapannya itu? Apakah bererti Nabi telah meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??
Makna ucapan “
al-Madad atau Adrikni Ya Rasulallah “.
Ucapan di atas masuk dalam kategori tawassul dan istighatasah. Kedua ucapan di atas mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan “ al-Madad “ atau “ adrikni “. Maka maknanya adalah, “ kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah “.
Pada hakikatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan Nabi atau orang soleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah anugerahkan kepada nabi atau orang soleh itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “Wahai nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau“, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan : “Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini“. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.
Penyandaran al-madad (pertolongan), al-‘aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam hadits dan al-Quran sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.
Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal hadits Nabi berikut :
اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا
غيرآجل
“Ya Allah,
turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang
subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak
ditunda “. (HR. Abu
Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)
Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).
Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakikatnya dan bukan majaz ?? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakikatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.
Jika hujan saja boleh disebut al-ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak sebab perantara beliau umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-ghauts atau al-madad secara majaz.
Contoh, dalam al-Quran disebutkan :
إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ
لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا
“ Sesungguhnya aku
hanyalah utusan Tuhanmu (wahai Maryam), untuk aku berikan padamu seorang anak
yang cerdas “. (QS.
Maryam : 19)
Apakah Jibril yang memberikan seorang anak untuk Maryam ?? tentu tidak, yang memberikan dan menciptakan seorang anak hanyalah Allah semata. Maka menisbatkan kata “AHABA (Aku memberikan) “, adalah bersifat majaz bukan hakikatnya.
Dalam al-Quran Nabi Isa juga mengatakan :
أني أخلق لكم من الطين كهيئة الطير
فانفخ فيه فيكون طيرا بإذن الله
“ Aku membuat
untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia
menjadi seekor burung dengan seizin Allah “ (QS. Ali Imran : 49 )
Apakah nabi Isa yang menciptakan burung dari tanah liat karena beliau sendiri yang mengatakan mencitpakan dan meniupkan menjadi hidup ?? tidak, akan tetapi kata penciptaan dan peniupan adalah majaz bukan hakikatnya
Demikian juga ucapan “ al-Madad Ya Rasulullah “ atau “ adrikni Ya Rasullah “, bukanlah secara hakikatnya melainkan secara majaz saja, adapun hakikatnya yang memberi pertolongan adalah hanyala Allah semata bukan yang lain-Nya. Dan Rasulullah sendiri pun telah menegaskan kepada umatnya:
وإِنما أنا قاسم والله يعطي
“ Sesungguhnya saya
hanyalah pembagi sedangkan Allah lah yang memberi “. (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala pun telah berfirman :
وإذْ تَقولُ للذي أَنْعَمَ اللهُ عليهِ وأنْعَمْتَ عليه
“ Dan ketika engkau
(Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau
juga telah memberi nikmat kepadanya…” (QS. Al-Ahzab : 37)
Apakah berarti Rasulullah juga mampu memberikan nikmat sebagaimana Allah ? apakah Rasul menjadi sekutu Allah karena sama-sama mampu memberikan nikmat sebagaimana ayat tersebut ?
Tidak demikian, akan tetapi maknanya adalah majaz yakni Rasul hanyalah menjadi faktor penyebab datangnya nikmat dari Allah. Dalam ayat itu, Zaid bin Haritsah mendapat berbagai nikmat dengan sebab (perantara) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia masuk Islam di tangan Nabi, ia dimerdekakan oleh Nabi, ia dinikahkan dengan pilihan Nabi dan ia menjadi sahabat utama Nabi. Namun Allah menisbatkan kalimat, “ engkau (Muhammad) juga telah memberikan nikmat “ kepada nabi Muhammad bukan berarti secara hekekatnya beliau mampu menciptakan nikmat, akan tetapi itu hanyalah majaz yang bermakna nabi Muhammad menjadi faktor penyebab datangnya nikmat.
Inilah pemahaman Ahlus
sunnah Wal Jama’ah sejak masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga saat ini
yang dipegang oleh mayoritas umat muslim di belahan dunia ini.
Adapun fatwa ulama wahabi yang mengatakan :
ولكن حياته لا تعني أنه يزور الناس في أماكنهم أو يحضر
جلساتهم وأذكارهم ويدعو لهم، إذ لو جاز أن يفعل شيئا من ذلك، لفعله مع صحابته
وخلفائه وهم أفضل أمته وأعز الخلق عليه.
“ Tetapi hidupnya
tidak bermaksud baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan menziarahi manusia di
tempat mereka, atau menghadiri majlis-majlis mereka, lalu berdoa untuk mereka.
Seandainya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam boleh melakukan hal ini, nescaya
baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya bersama-sama
sahabat-sahabatnya, khalifah-khalifahnya kerana mereka adalah umatnya yang
paling utama dan paling dicintai olehnya.”
Kami jawab:
Jelas ini adalah
penilaian yang tidak tepat pada sasarannya. Karena kami meyakini bahwa apa yang
kami ucapkan bahkan apa yang kami lakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahuinya tanpa harus datang ke tempat atau majlis kami. Dan
pernyataan ulama wahabi tersebut justru bertentangan dengan hadits-hadits sahih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَياَتيِ خَيْرُ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ
وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا
حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ
“Hidupku
didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi
kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat
sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat
sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.[2]
Hadits ini begitu jelas bahwasanya amal perbuatan kita diperlihatkan kepada Rasulullah dan bahkan Rasulullah juga mendoakan kita dan memohonkan ampunan untuk kita di alam barzakhnya tanpa beliau harus datang ke tempat atau majlis kita.
Ibnul Qayyim menyebutkan sebuah hadits berikut :
من صلى علي عند قبري سمعته ومن صلى علي من بعيد اعلمته
“ Barang siapa yang
membaca shalawat di dekat makamku, maka aku mendengar-nya. Dan barang siapa
yang membaca shalawat dari tempat yang jauh, maka aku diberitahukannya ”.[3]
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ucapan sholawat umatnya sama ada di dekat kuburnya ataupun di tempat yang jauh. Kedua hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya perbuatan kita dan ucapan sholawat kita dapat diketahui oleh Nabi di manapun kita berada.
Tawassul dan Istighatasah dengan Nabi atau wali yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf shalih.
Pada hakekatnya meminta pertolongan kepada wali atau orang shalih yang sudah wafat dengan cara bertawassul atau istighatsah maka maksudnya adalah memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para wali dan orang shalih tersebut, bukan meminta langsung kepada wali atau orang shalih untuk menciptakan apa yang mereka minta dan inginkan dan bahkan hal terkabulnya hajat sebab tawassul kepada para wali merupakan salah satu mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Hafidz Ibnu Shalah (w 643 H) berkata ketika menceritakan mu’jizat Nabi :
وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ
أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ
عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا
عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ
وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ
“ Demikian itu
bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat
orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan mereka ketika dalam
keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak
mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya
dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan
sunnahnya “[4]
Al-Imam al-Alusi al-Mufassir mengatakan :
وبعد هذا كلـه لا
أرى بأساً في التوسـل إلى الله بجاه النبي صلى الله عليه وسلم عند الله تعالى حياً
وميتاً
“ Setelah
(hujjah-hujjah) ini, maka saya mengatakan tidak mengapa di dalam bertawassul
kepada Allah dengan perantara jaah (kedudukan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di sisi Allah, sama ada Nabi masih hidup ataupun sudah wafat “.[5]
Kemudian beliau juga mengatakan :
لا بأس به أيضاً
إنْ كان المتوسل بجاهه مما علم أنّ له جاهاً عند الله تعالى كالمقطوع بصلاحه
وولايته
“ Tidaklah mengapa
juga bertawassul, jika orang yang dijadikan perantara tawassul adalah orang
yang memiliki jaah (kedudukan) di sisi Allah Ta’ala seperti orang yang sudah
diyakini dengan keshalihan dan kewaliannya “.[6]
Tawassul, istighatasah dan tabarruk dengan Nabi atau orang soleh yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa salaf bahkan hingga datang ke kuburannya.
Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikhnya berkata dari Abi Abdillah al-Muhamili bahwa ia berkata :
أعرف قبر معروفٍ الكرخي منذ سبعين سنةً، ما
قصده مهموم إلا فرج الله همه
“ Aku tahu makam
Ma’ruf AL-Kurkhi sejak 70 tahun, tidaklah seorang yang susah mendatanginya,
kecuali Allah melapangkan kesusahannya “.[7]
Ibnu Khalkan juga
mengatakan :
وأهل بغداد يستسقون بقبره ويقولون قبر معروف ترياق مجرب.
وقبره مشهور يزار
“Penduduk Baghdad
(bertawassul) dengan istisqa melalui kuburannya dan mengatakan, “ Kubur Ma’ruf
adalah obat yang mujarrab “, dan kuburannya masyhur (terkenal) banyak diziarahi
“[8]
Dan Ma’ruf al-Khurkhi wafat pada tahun 200 Hijriyyah.
Seorang ulama salaf bernama Ibrahim al-Harbi (w 285 H) di mana Imam Ahmad bin Hanbal pernah memondokkan putranya pada beliau, seorang Hafidz, Faqih dan Mujtahid pernah berkata :
قبر معروفٍ الترياق المجرب
“ Kuburan Ma’ruf
al-Kurkhi adalah obat yang mujarrab “,
Al-Khatib
al-Baghdadi mengomentarinya : “ Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai
bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya
manfaatnya, dan banyak macamnya. Al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Kurkhi
dengan obat di dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah al-Harbi berkata : “
Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Kurkhi dengan bertabarruk karena
banyak manfaat yang akan diperoleh “.[9]
Al-Khatib al-Baghdadi
berkata dari Hasan bin Ibrahim al-Khallal, bahwa beliau berkata :
ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفرٍ فتوسلت به إلا سهل
الله تعالى لي ما أحب
“ Tidaklah ada satu
perkara yang membuatku susah, lalu aku dating ke makam Musa bin Jakfar,
kemudian aku bertawassul dengannya, maka Allah akan memudahkan apa yang aku
inginkan “.[10]
Para Imam Ahli Hadits, iaitu al-Imam al-Thabarani, al-Imam Abu al-Syaikh al-Ashibhani dan al-Imam Ibn al-Muqri beristighatsah dengan Nabi. Disebutkan bahwasanya mereka bertiga datang ke kota Madinah lalu, ketika mereka kelaparan maka malam harinya Ibn al-Muqri menziarahi makam Nabi dan mengucapkan, “Wahai Rasulallah, kami lapar “. Maka tidak lama datanglah seorang keturunan Nabi dengan membawa makanan yang cukup banyak untuk mereka, karena ia bermimpi Nabi untuk memberikan makanan pada mereka bertiga.[11]
Al-Khatib al-Baghdadi juga meriwayatkan :
قال أنبأنا أبو
عبد الرحمن محمد بن الحسين السلمي بنيسابور قال سمعت أبا بكر الرازي يقول سمعت عبد
الله بن موسى الطلحي يقول سمعت أحمد بن العباس يقول خرجت من بغداد فاستقبلني رجل
عليه أثر العبادة فقال لي من أين خرجت قلت من بغداد هربت منها لما رأيت فيها من
الفساد خفت أن يخسف بأهلها فقال ارجع ولا تخف فان فيها قبور أربعة من
أولياء الله هم حصن لهم من جميع البلايا قلت من هم قال ثم الامام أحمد بن
حنبل ومعروف الكرخي وبشر الحافي ومنصور بن عمار فرجعت وزرت القبور ولم أخرج تلك
السنة
“ Telah
menceritakan padaku Abu Abdurrahman bin Husain as-Salma di Naisabur, ia
berkata, “ Aku mendengar Abu Bakar ar-Razi berkata, “ Akau mendengar Abdullah
bin Musa ath-Thalhi berkata, “ Aku mendengar Ahmad bin al-Abbas berkata, “ Aku
keluar dari Baghdad, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang ada bekas
ibadah atasnya, dan bertanya padaku, “ Dari mana engkau keluar ? “. Aku
menjawab, “ Aku lari dari Baghdad, karena aku khawatir Allah menenggelamkan
penduduknya ke dalam bumi karena kerusakan yang aku lihat di sana “, maka
laki-laki itu berkata, “ Kembalilah dan janganlah takut, karena di Baghdad ada
empat makam wali Allah, mereka adalah benteng untuk penduduknya dari semua
bahaya “. Aku bertanya, siapa mereka ?, ia menjawab “ Mereka adalah imam Ahmad bin
Hanbal, Ma’ruf al-Khurkhi, Bisyr al-Hafi dan Manshur bin ‘Ammar “. Maka aku
kembali dan aku ziarahi kuburan-kuburan itu dan aku tidak keluar dari Baghadad
selama setahun “.[12]
Dan masih banyak lagi
hujjah dan dalil berkenaan masalah ini yang tidak kami tampilkan di sini,
semoga yang singkat ini memberikan pencerahan bagi mereka dan mennambah keyakinan khususnya bagi Ahlus sunnah wal Jama’ah.
Kota Santri,
16/08/2014
Bacaan Tambahan:
http://akitiano.blogspot.com/2014/02/al-madad-dari-sisi-pandang-tasawwuf.html
[1] Hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, as-Sakhawi
dan al-Haitsami lihat (Majma’ al-Zawaid : 10/132). Bahkan al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini dikuatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal karena imam Ahmad pun
mengamalkannya. Lihat as-Silsilah adh-Dhaifah : 2/109
[2] Al-Haitsami menilai hadits tersebut sahih, lihat kitab Majma’
az-Zawaid : 9/24. Al-Hafidz al-Iraqi menilai sanadnya jayyid, lihat : Tharah
at-Tatsrib : 3/297. Dan imam Suyuthi menilainya sahih, lihat kitab al-Khashaish
: 2/281
[3] Jilaa al-Afham, Ibnul Qayyim : 109. Hadits ini sanadnya
dinilai jayyid oleh imam as-Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar, lihat kitab
al-Qaul al-Badi’ : 227
[4] Aadab al-Muffti wa al-Mustafti : 1/210
[5] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/187
[6] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/188
[7] Tarikh Baghdad : 1/135
[8] Tarikh Ibnu Khalkan : 2/224
[9] Tarikh Baghdad : 1/122
[10] Tarikh Baghdad : 1/120
[11] Lihat kitab Tadzkirat al-Huffazh, adz-Dzahabi Juz 3
hal. 974.
[12] Tarikh al-Baghdad : 1/133
Bagaimana pula dlm qasidah itu juga disebut almadad hassan dan hussain?
ReplyDeleteDalam qasidah tu tiada hassan dan hussain.
ReplyDeleteApapun, secara peribadi saya lebih cenderung untuk diubah penggunaan bahasa kepada yang tidak membawa makna "boleh membawa kesyirikan'. Bagi yang nak beramal dengan 'madad' sebegini, mesti beramal dengan ilmu iaitu ini adalah suatu bentuk istighasah dan tawassul, namun semuanya atas izin Allah SAW jua dengan berkat mereka. Pada hakikatnya kita memohon kepada Allah SWT.
Kepada yang tidak bersetuju, usah cepat mengatakan syirik, Namun, boleh jatuh syirik sekiranya mereka yang beramal tidak mempunyai ilmu padanya, akhirnya menganggap makhluk yang memberi bekas.
Sebagaimana dalam wasilah (perantara lahir), cthnya memakan ubat kerana sakit, ubat tidak memberi bekas, hanya Allah SWT yang memberi bekas. Maka, masyarakat juga perlu dididik supaya tidak berubah tawakkalnya kepada ubat, sebaliknya ubat hanyalah ikhtiyar, namun Allah SWT lah yang maha penyembuh.
Kalau ada yang guna 'madad ya hussain' pula macam mana ustaz?
DeleteCIRI-CIRI WAHABI-NAJDIYYUN-TANDUK SYAITAN EJEN PLURALISME BARAT MENYERANG ISLAM DARI DALAM
ReplyDelete1. Sebarkan tauhid trinity dan benarkan kalimah Allah utk bukan Islam.
2. Hapuskan pembahagian ilmu diantara orang awam dan ulama
a. Sebarkan slogan Islam adalah mudah dan ringkas untuk semua
b. Ayat2 mutasyabihat boleh difahami awam
c. Menanamkan was-was terhadap institusi ijmak dan qiyas
d. Qaul ulama awal terutama imam mujtahid boleh dimansuhkan dengan hadis
3. Merasionalkan perkara-perkara ta’abbudi
a. Kita doa hadap langit, maka Allah ada diatas langit. Hakikatnya, doa menghadap langit adalah ta’abbudi.
4. Mengelaskan Asyairah & Maturidiyyah sebagai jahmiyyah dan muktazilah kerana mengamalkan takwil.
5. Kesimpulan: WAHABI PUN AMAL TAQIYYAH
Jangan mudah label orang sebagai wahabi. Juga jangan mudah syirikkan amalan yang dianggap perkara khilaf pada pandangan ulamak. Selesai masalah kalau masing-masing berlapang dada. Apa pun teguran Abu Anas Madani itu mungkin sebagai sadd zarai'e memandangkan tahap keimanan masyarakat Islam di zaman sekarang tidak;ah sekuat masyarakat terdahulu.
ReplyDelete