Selamat Datang ke Weblog Dr Asmadi Mohamed Naim 'Nazil al-Qadah'

أهلا وسهلا ومرحبا بكم إلى موقع إلكتروني للدكتور أسمادي محمد نعيم نزيل القدح باللغة الماليزية



Showing posts with label golongan syaz. Show all posts
Showing posts with label golongan syaz. Show all posts

Monday, 1 December 2014

Hati keras terhadap ulama-ulama muktabar

Saudara pembaca sekalian,

Pengamatan saya, orang yang dapat ilmu-ilmu melalui baca sendiri kitab-kitab, atau baca sendiri internet, hati dia 'jamid', atau keras dan mudah 'su' al-zann' (bersangka buruk) dengan ulama Silam. Hubungannya ialah hubungan buku atau komputer dan dirinya..


Berbeza dengan orang yang habiskan kitab dgn guru-guru..hati dia penuh dgn 'unsur keberkatan'.. melihat kegigihan guru menuntut ilmu dan menyampaikan ilmu.. hubungannya ialah hubungan ...manusia dan manusia, atau anak murid dan guru..


Semoga Allah SWT memberkati guru-guru kami.

Sunday, 17 August 2014

ISU "MADAD YA RASULALLAH"

Saya ditanya pasal madaih (puji-pujian) "Madad Ya Rasulullah". Ia berkait dengan tawassul dan istighasah. Saya tidak menjawab sebab isu ini telah "DISYIRIKKAN" secara meluas dalam FB dan memerlukan perbahasan mendalam. Saya hanya meminta grup research kami membuat artikel lengkap untuk menjadi NERACA kepada pembaca dan mengelakkan kita "GOPOH" menjatuhkan hukuman. Bila kita menuduh seseorang kafir, jika mereka tidak kafir, kafir akan kembali kepada kita. Begitu juga tuduhan syirik. Suatu tuduhan yang amat berat.


Alhamdulillah, grup research telah Berjaya mendatangkan suatu artikel untuk bacaan bersama. Sila baca dengan hati yang terbuka dan boleh dibincangkan secara ilmiah, tanpa emosi mana poin-poin yang diutarakan. Nasihat saya, jangan cepat melafazkan (atau menulis) dan menuduh SYIRIK kepada sesuatu yang kadang-kadang, ilmu kita tidak mencukupi mengenainya.


Sila klik link ini untuk tatapan anda: http://www.aswj-rg.com/2014/08/hukum-mengucapkan-madad-ya-rasulullah-pencerahan-buat-abu-anas-madani.html



Atau baca artikel di bawah:


HUKUM-MENGUCAPKAN “MADAD YA RASULULLAH” PENCERAHAN BUAT ABU ANAS MADANI

 Artikel pada kali ini kami merespon terhadap status facebook Abu Anas Madani yang boleh dikira sebagai berbahaya kepada masyarakat kerana boleh menjerumuskan kepada budaya takfir mentakfir, kami mengharapkan supaya Abu Anas Madani lebih teliti dan ilmiah ketika mengulas sesuatu isu apatah lagi jika implikasinya adalah syirik dan takfir, Jika tidak mampu berbuat secara ilmiah, berdiam diri adalah lebih baik dari menimbulkan kerosakan kepada masyarakat. Selepas ini kami akan mula menghadapkan para penyelidik kami untuk mengoreksi beberapa lagi tulisan abu anas madani di facebook atau laman web beliau (jika ada) kerana terlalu banyak aduan yang diterima pihak kami dari masyarakat bahawa Abu Anas Madani mengelirukan masyarakat dengan penulisan-penulisan beliau. Wallahualam.

Status facebook yang dimaksudkan boleh dilihat disini: https://www.facebook.com/AbuAnasMadani/posts/942200195806615:0

Tawassul dan istighatsah kepada para nabi atau orang shalih yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf yang shalih. Dalam berbagai macam redaksi tawassul dan istighatasah, terus dipraktekkan dari generasi salaf hingga saat ini oleh mayoritas umat muslim di berbagai belahan dunia ini, tak ada yang mengingkarinya kecuali segelintir kaum yang tidak memahami subtansi tawassul dan istighatsah dengan baik dan benar sesuai pemahaman ulama salaf yang shalih.

Berikut di antara kekeliruan segelintir kaum itu dalam memahami terminologi istighatsah dengan teks “al-Madad atau adrikni “ :

Dr Abu Anas mengatakan :

Sebahagian melaungkan qasidah ini tanpa ada niat memohon pertolongan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita berharap inilah yang diyakini kebanyakan mereka yang membaca Qasidah itu. Akan tetapi terdapat sebahagian mereka yang benar-benar meyakini bahawa boleh meminta tolong daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam selepas kewafatan baginda kerana mereka berpegang bahawa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup di alam kubur, dan mampu mendoakan umatnya sebagaimana ketika baginda sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. 


Kami jawab :
Yang kedua pun tak salah menurut ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selepas kewafatannya, juga tidak meyakini sumber atau penciptaan pertolongan maupun mudarat dari dzat Rasulullah sendiri melainkan meyakini bahwa pertolongan, bantuan, manfaat ataupun mudarat (bahaya) hanyalah dari Allah semata yang menciptakannya. Hal ini sesuai pemahaman mayoritas ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah sejak masa Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga masa kita sekarang ini dan dipegang oleh majoriti umat muslim di seluruh penjuru dunia ini.

 
Sebelum kami menjelaskan secara detail, ada baiknya Dr Abu Anas merenungi hadits-hadits sahih berikut ini :

إن لله ملائكةً في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر، فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد: أعينوا عباد الله

“ Sesungguhnya Allah memiliki malaikat di bumi selain Hafadzah yang menulis daun-daun yang jatuh dari pohonnya, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang, maka hendaklah mengatakan : “ Tolonglah aku wahai para hamba Allah “.[1]


Dengan jelas hadits ini menunjukkan seruan yang meminta pertolongan kepada orang yang tidak hadir di hadapannya, entah itu wali Allah atau pun malaikat dan ini merupakan sebahagian dari istighatsah (meminta pertolongan). Nabi telah mengajarkannya pada umat Islam dan ini pun telah diamalkan oleh ulama salaf di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal dan juga para ulama setelahnya seperti para guru imam Nawawi. Bahkan dalam riwayat yang lain hadits seperti di atas, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Albani mengulas bahwasanya Imam Ahmad beristighatsah dengan malaikat. Apakah Imam Ahmad bin Hanbal telah musyrik karena beristighatasah dengan malaikat sebagaimana keterangan al-Albani dalam kitab as-Silsilah adh-Dha’ifah?


وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُو يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ ، فَبَيْنَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ ، ثُمَّ بِمُوسَى ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ

“ Dan berkata : “ Sesungguhnya matahari akan mendekat di hari kiamat hingga keringat mencapai telinga, ketika keadaan mereka seperti itu, maka mereka beristighatsah dengan Nabi Adam, kemudian kepada Musa kemudian kepada nabi Muhammad “. (HR. Bukhari)


Jika meminta pertolongan kepada nabi yang sudah wafat dilarang, lalu kenapa mereka beristighatsah kepada para nabi di atas dan tidak beristighatsah kepada Allah secara langsung? atau apakah syirik boleh dilakukan di akhirat dan tidak boleh dilakukan di dunia?? Seandainya meminta pertolongan kepada Nabi yang sudah wafat itu haram dan syirik, sepatutnya juga syirik jika dilakukan di akhirat nanti. Kecuali jika mereka menghukumi syirik di dunia dan tidak syirik di akhirat. 

Nabi juga pernah mengucapkan:
اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“ Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatkan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih)

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Apakah Nabi kita menjadi musyrik dengan ucapannya itu? Apakah bererti Nabi telah meyakini bahwa hujan itu merupakan penolong, penyelamat dan pemberi manfaat ?? Atau apakah Nabi ingin mengajarkan kesyirikan kepada umatnya ??

 
Makna ucapan “ al-Madad atau Adrikni Ya Rasulallah “.

Ucapan di atas masuk dalam kategori tawassul dan istighatasah. Kedua ucapan di atas mengandung seruan (nida’ ; Ya Rasulallah) dan tawassul dengan ungkapan “ al-Madad “ atau “ adrikni “. Maka maknanya adalah, “ kami memohon pertolongan dengan perantaraanmu wahai Rasulallah “.

Pada hakikatnya kaum muslimin yang bertawassul atau beritighatsah dengan Nabi atau orang soleh sama ada yang wafat atau yang masih hidup, adalah mereka hanyalah memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah semata, dan pertolongan atau bantuan itu termasuk yang Allah anugerahkan kepada nabi atau orang soleh itu dan Allah kasihkan kepada mereka. Maka ucapan seorang yang bertawassul atau beristighatsah misal : “Wahai nabi Allah, sembuhkanlah aku, tunaikanlah hutangkau“, maka sesungguhnya ia hanyalah menginginkan : “Bantulah aku dengan syafa’at dan pertolonganmu agar aku sembuh, dan doakanlah agar hutangku terlunasi, bertawajjuhlah kepada Allah dalam urusanku ini“. Maka mereka kaum muslimin tidaklah meminta kecuali apa yang Allah mampukan dan berikan pada mereka berupa doa dan syafa’at atau pertolongan.

Penyandaran al-madad (pertolongan), al-‘aun (bantuan) kepada Rasulullah atau makhluk lainnya hanyalah majaz (bukan hakekatnya) dan penisbatan semacam ini dibenarkan dalam hadits dan al-Quran sendiri. Dan kaum muslimin pun tidak meyakini pertolongan dan bantuan diciptakan oleh Rasulullah atau makhluk lainnya, melainkan kaum muslimin meyakini pertolongan, manfaat ataupun bahaya hanyalah dari Allah semata.

Contoh sebagaimana yang telah kami tampilkan di awal hadits Nabi berikut : 

اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضار عاجلا غيرآجل

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang menolong, menyelamatakan, enak, yang subur, memberi manfaat dan tidak mendatangkan bahaya, segera dan tidak ditunda “. (HR. Abu Dawud : 988 dengan sanad yang sahih) 

Dalam hadits yang berupa doa tersebut, Nabi menyebut dan menamakan hujan sebagai Mughits (penolong), Nafi’ (pemberi manfaat) dan Ghair Dhaarrin (Tidak mendatangkan bahaya).

Mungkinkah Nabi menyebut Hujan sebagai penolong, pemberi manfaat secara hakikatnya dan bukan majaz ?? jelas Nabi tidak bermaksud secara hakikatnya melainkan secara majaz, sebab jelas jika meyakini hujan sebagai pemberi pertolongan dan manfaat secara independen, maka hukumnya mensyirikkan Allah dengan makhluk-Nya. Maka sudah tentu yang Nabi maksudkan adalah secara majaz bukan hakikatnya.

Jika hujan saja boleh disebut al-ghouts secara majaz, maka demikian pula makhluk Allah termulia yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak sebab perantara beliau umatnya bahkan seluruh alam mendapatkan banyak nikmat, pertolongan dan rahmat dari Allah Ta’ala, lebih layak disebut al-ghauts atau al-madad secara majaz.

Contoh, dalam al-Quran disebutkan :

إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا

“ Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu (wahai Maryam), untuk aku berikan padamu seorang anak yang cerdas “. (QS. Maryam : 19)


Apakah Jibril yang memberikan seorang anak untuk Maryam ?? tentu tidak, yang memberikan dan menciptakan seorang anak hanyalah Allah semata. Maka menisbatkan kata “AHABA (Aku memberikan) “, adalah bersifat majaz bukan hakikatnya.

Dalam al-Quran Nabi Isa juga mengatakan :

أني أخلق لكم من الطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا بإذن الله

“ Aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah “ (QS. Ali Imran : 49 )

Apakah nabi Isa yang menciptakan burung dari tanah liat karena beliau sendiri yang mengatakan mencitpakan dan meniupkan menjadi hidup ?? tidak, akan tetapi kata penciptaan dan peniupan adalah majaz bukan hakikatnya

Demikian juga ucapan “ al-Madad Ya Rasulullah “ atau “ adrikni Ya Rasullah “, bukanlah secara hakikatnya melainkan secara majaz saja, adapun hakikatnya yang memberi pertolongan adalah hanyala Allah semata bukan yang lain-Nya. Dan Rasulullah sendiri pun telah menegaskan kepada umatnya:
وإِنما أنا قاسم والله يعطي

“ Sesungguhnya saya hanyalah pembagi sedangkan Allah lah yang memberi “. (HR. Bukhari)


Allah Ta’ala pun telah berfirman : 

وإذْ تَقولُ للذي أَنْعَمَ اللهُ عليهِ وأنْعَمْتَ عليه

“ Dan ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya…” (QS. Al-Ahzab : 37)

Apakah berarti Rasulullah juga mampu memberikan nikmat sebagaimana Allah ? apakah Rasul menjadi sekutu Allah karena sama-sama mampu memberikan nikmat sebagaimana ayat tersebut ?

Tidak demikian, akan tetapi maknanya adalah majaz yakni Rasul hanyalah menjadi faktor penyebab datangnya nikmat dari Allah. Dalam ayat itu, Zaid bin Haritsah mendapat berbagai nikmat dengan sebab (perantara) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia masuk Islam di tangan Nabi, ia dimerdekakan oleh Nabi, ia dinikahkan dengan pilihan Nabi dan ia menjadi sahabat utama Nabi. Namun Allah menisbatkan kalimat, “ engkau (Muhammad) juga telah memberikan nikmat “ kepada nabi Muhammad bukan berarti secara hekekatnya beliau mampu menciptakan nikmat, akan tetapi itu hanyalah majaz yang bermakna nabi Muhammad menjadi faktor penyebab datangnya nikmat.

Inilah pemahaman Ahlus sunnah Wal Jama’ah sejak masa sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga saat ini yang dipegang oleh mayoritas umat muslim di belahan dunia ini.
 
Jika hal semacam ini dinilai syirik maka sudah pasti Nabi tidak akan mengajarkan kepada umatnya apabila ditimpa kesulitan di suatu tanah lapang hendaknya mengucapkan “ Tolonglah aku wahai hamba Allah ! “, sebagaimana hadits yang telah kami tampilkan di awal. Karena jelas ucapan tersebut seolah meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan meminta pertolongan kepada makhluk yang tidak ada di hadapannya. Kenapa Nabi tidak langsung mengajarkan meminta pertolongan kepada Allah saja ? ini bukti bahwa tawassul dengan nida’ (seruan) telah dilegalitas oleh Nabi sendiri asalkan meyakini bahwa pemberi pertolongan ataupun madhorot hanyalah Allah semata.

Adapun fatwa ulama wahabi yang mengatakan :

ولكن حياته لا تعني أنه يزور الناس في أماكنهم أو يحضر جلساتهم وأذكارهم ويدعو لهم، إذ لو جاز أن يفعل شيئا من ذلك، لفعله مع صحابته وخلفائه وهم أفضل أمته وأعز الخلق عليه.

“ Tetapi hidupnya tidak bermaksud baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan menziarahi manusia di tempat mereka, atau menghadiri majlis-majlis mereka, lalu berdoa untuk mereka. Seandainya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam boleh melakukan hal ini, nescaya baginda sallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya bersama-sama sahabat-sahabatnya, khalifah-khalifahnya kerana mereka adalah umatnya yang paling utama dan paling dicintai olehnya.”
 
Kami jawab:
Jelas ini adalah penilaian yang tidak tepat pada sasarannya. Karena kami meyakini bahwa apa yang kami ucapkan bahkan apa yang kami lakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya tanpa harus datang ke tempat atau majlis kami. Dan pernyataan ulama wahabi tersebut justru bertentangan dengan hadits-hadits sahih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَياَتيِ خَيْرُ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ

“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”.[2]

Hadits ini begitu jelas bahwasanya amal perbuatan kita diperlihatkan kepada Rasulullah dan bahkan Rasulullah juga mendoakan kita dan memohonkan ampunan untuk kita di alam barzakhnya tanpa beliau harus datang ke tempat atau majlis kita.

Ibnul Qayyim menyebutkan sebuah hadits berikut :

من صلى علي عند قبري سمعته ومن صلى علي من بعيد اعلمته

“ Barang siapa yang membaca shalawat di dekat makamku, maka aku mendengar-nya. Dan barang siapa yang membaca shalawat dari tempat yang jauh, maka aku diberitahukannya ”.[3]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ucapan sholawat umatnya sama ada di dekat kuburnya ataupun di tempat yang jauh. Kedua hadits di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya perbuatan kita dan ucapan sholawat kita dapat diketahui oleh Nabi di manapun kita berada.

Tawassul dan Istighatasah dengan Nabi atau wali yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa ulama salaf shalih.

Pada hakekatnya meminta pertolongan kepada wali atau orang shalih yang sudah wafat dengan cara bertawassul atau istighatsah maka maksudnya adalah memohon kepada para Nabi dan orang-orang shalih untuk menjadi faktor penyebab di sisi Allah dalam memenuhi apa yang mereka mohon dari Allah. Dengan cara Allah menciptakan kebutuhannya sebab syafaat, doa dan tawajjuh para wali dan orang shalih tersebut, bukan meminta langsung kepada wali atau orang shalih untuk menciptakan apa yang mereka minta dan inginkan dan bahkan hal terkabulnya hajat sebab tawassul kepada para wali merupakan salah satu mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Hafidz Ibnu Shalah (w 643 H) berkata ketika menceritakan mu’jizat Nabi  :

وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ

“ Demikian itu bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan mereka ketika dalam keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan sunnahnya “[4]

Al-Imam al-Alusi al-Mufassir mengatakan :

وبعد هذا كلـه لا أرى بأساً في التوسـل إلى الله بجاه النبي صلى الله عليه وسلم عند الله تعالى حياً وميتاً

“ Setelah (hujjah-hujjah) ini, maka saya mengatakan tidak mengapa di dalam bertawassul kepada Allah dengan perantara jaah (kedudukan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah, sama ada Nabi masih hidup ataupun sudah wafat “.[5]

Kemudian beliau juga mengatakan :

لا بأس به أيضاً إنْ كان المتوسل بجاهه مما علم أنّ له جاهاً عند الله تعالى كالمقطوع بصلاحه وولايته

“ Tidaklah mengapa juga bertawassul, jika orang yang dijadikan perantara tawassul adalah orang yang memiliki jaah (kedudukan) di sisi Allah Ta’ala seperti orang yang sudah diyakini dengan keshalihan dan kewaliannya “.[6]

Tawassul, istighatasah dan tabarruk dengan Nabi atau orang soleh yang sudah wafat telah diamalkan sejak masa salaf bahkan hingga datang ke kuburannya.

Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikhnya berkata dari Abi Abdillah al-Muhamili bahwa ia berkata :
أعرف قبر معروفٍ الكرخي منذ سبعين سنةً، ما قصده مهموم إلا فرج الله همه
“ Aku tahu makam Ma’ruf AL-Kurkhi sejak 70 tahun, tidaklah seorang yang susah mendatanginya, kecuali Allah melapangkan kesusahannya “.[7]

 Abu Abdillah bin al-Muhamili ini lahir di Baghdad pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 330 H.

Ibnu Khalkan juga mengatakan :

وأهل بغداد يستسقون بقبره ويقولون قبر معروف ترياق مجرب. وقبره مشهور يزار

“Penduduk Baghdad (bertawassul) dengan istisqa melalui kuburannya dan mengatakan, “ Kubur Ma’ruf adalah obat yang mujarrab “, dan kuburannya masyhur (terkenal) banyak diziarahi “[8]

Dan Ma’ruf al-Khurkhi wafat pada tahun 200 Hijriyyah.

Seorang ulama salaf bernama Ibrahim al-Harbi (w 285 H) di mana Imam Ahmad bin Hanbal pernah memondokkan putranya pada beliau, seorang Hafidz, Faqih dan Mujtahid pernah berkata :

قبر معروفٍ الترياق المجرب

“ Kuburan Ma’ruf al-Kurkhi adalah obat yang mujarrab “,

Al-Khatib al-Baghdadi mengomentarinya : “ Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya manfaatnya, dan banyak macamnya. Al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Kurkhi dengan obat di dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah al-Harbi berkata : “ Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Kurkhi dengan bertabarruk karena banyak manfaat yang akan diperoleh “.[9]
 
Al-Khatib al-Baghdadi berkata dari Hasan bin Ibrahim al-Khallal, bahwa beliau berkata :

ما همني أمر فقصدت قبر موسى بن جعفرٍ فتوسلت به إلا سهل الله تعالى لي ما أحب
“ Tidaklah ada satu perkara yang membuatku susah, lalu aku dating ke makam Musa bin Jakfar, kemudian aku bertawassul dengannya, maka Allah akan memudahkan apa yang aku inginkan “.[10]

Para Imam Ahli Hadits, iaitu al-Imam al-Thabarani, al-Imam Abu al-Syaikh al-Ashibhani dan al-Imam Ibn al-Muqri beristighatsah dengan Nabi. Disebutkan bahwasanya mereka bertiga datang ke kota Madinah lalu, ketika mereka kelaparan maka malam harinya Ibn al-Muqri menziarahi makam Nabi dan mengucapkan, “Wahai Rasulallah, kami lapar “.  Maka tidak lama datanglah seorang keturunan Nabi dengan membawa makanan yang cukup banyak untuk mereka, karena ia bermimpi Nabi untuk memberikan makanan pada mereka bertiga.[11]

Al-Khatib al-Baghdadi juga meriwayatkan :

قال أنبأنا أبو عبد الرحمن محمد بن الحسين السلمي بنيسابور قال سمعت أبا بكر الرازي يقول سمعت عبد الله بن موسى الطلحي يقول سمعت أحمد بن العباس يقول خرجت من بغداد فاستقبلني رجل عليه أثر العبادة فقال لي من أين خرجت قلت من بغداد هربت منها لما رأيت فيها من الفساد خفت أن يخسف بأهلها فقال ارجع ولا تخف فان فيها قبور أربعة من أولياء الله هم حصن لهم من جميع البلايا قلت من هم قال ثم الامام أحمد بن حنبل ومعروف الكرخي وبشر الحافي ومنصور بن عمار فرجعت وزرت القبور ولم أخرج تلك السنة

“ Telah menceritakan padaku Abu Abdurrahman bin Husain as-Salma di Naisabur, ia berkata, “ Aku mendengar Abu Bakar ar-Razi berkata, “ Akau mendengar Abdullah bin Musa ath-Thalhi berkata, “ Aku mendengar Ahmad bin al-Abbas berkata, “ Aku keluar dari Baghdad, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang ada bekas ibadah atasnya, dan bertanya padaku, “ Dari mana engkau keluar ? “. Aku menjawab, “ Aku lari dari Baghdad, karena aku khawatir Allah menenggelamkan penduduknya ke dalam bumi karena kerusakan yang aku lihat di sana “, maka laki-laki itu berkata, “ Kembalilah dan janganlah takut, karena di Baghdad ada empat makam wali Allah, mereka adalah benteng untuk penduduknya dari semua bahaya “. Aku bertanya, siapa mereka ?, ia menjawab “ Mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal, Ma’ruf al-Khurkhi, Bisyr al-Hafi dan Manshur bin ‘Ammar “. Maka aku kembali dan aku ziarahi kuburan-kuburan itu dan aku tidak keluar dari Baghadad selama setahun “.[12]

Dan masih banyak lagi hujjah dan dalil berkenaan masalah ini yang tidak kami tampilkan di sini, semoga yang singkat ini memberikan pencerahan bagi mereka dan mennambah keyakinan khususnya bagi Ahlus sunnah wal Jama’ah.

 
Ibnu Abdillah al-Katibiy
Kota Santri, 16/08/2014

Bacaan Tambahan:
http://akitiano.blogspot.com/2014/02/al-madad-dari-sisi-pandang-tasawwuf.html




[1] Hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, as-Sakhawi dan al-Haitsami lihat (Majma’ al-Zawaid : 10/132). Bahkan al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal karena imam Ahmad pun mengamalkannya. Lihat as-Silsilah adh-Dhaifah : 2/109
[2] Al-Haitsami menilai hadits tersebut sahih, lihat kitab Majma’ az-Zawaid : 9/24. Al-Hafidz al-Iraqi menilai sanadnya jayyid, lihat : Tharah at-Tatsrib : 3/297. Dan imam Suyuthi menilainya sahih, lihat kitab al-Khashaish : 2/281
[3] Jilaa al-Afham, Ibnul Qayyim : 109. Hadits ini sanadnya dinilai jayyid oleh imam as-Sakhawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar, lihat kitab al-Qaul al-Badi’ : 227
[4]  Aadab al-Muffti wa al-Mustafti : 1/210
[5] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/187
[6] Tafsir Ruh al-Ma’ani : 4/188
[7] Tarikh Baghdad : 1/135
[8] Tarikh Ibnu Khalkan : 2/224
[9] Tarikh Baghdad : 1/122
[10] Tarikh Baghdad : 1/120
[11] Lihat kitab Tadzkirat al-Huffazh, adz-Dzahabi Juz 3 hal. 974.
[12] Tarikh al-Baghdad : 1/133

 

Friday, 8 August 2014

JAUHI SIFAT "GHULUW"

Di kalangan Sufi ada yang 'ghuluw'. Asalnya mahu kejernihan hati, tapi terperangkap dengan 'shatahat sufiyyah' (kegelinciran kaum sufi). Sebab itu kita melihat kepelikan zikir dan bertabarruk, walaupun hukum asal berzikir, bertabarruk dan bertawassul adalah harus. Begitu juga menghormati guru dan sheykh dianjurkan, namun terlanjur kelihatan seperti suatu kebenaran mutlak.
 
Kalau ada yang mengkritik mereka, mereka cepat membuat tuduhan bahawa pengkritik aliran Wahhabi, Salafi. Lantas sebahagian masyarakat akan turut menyesatkan mereka, yang menjadi mangsa, ahli tareqat yang ikhlas dalam perjalanan kejernihan hatinya. Walhal ulama yang dinegatifkan menolak sufi seperti Ibn Taymiyyah sebenarnya memuji Sufi yang hakiki.

Di kalangan yang mendakwa dirinya Salafi dan mahu mengikut ulama Salaf, sebenarnya bagus cita-cita itu. Tetapi malangnya terperangkap dengan banyak bergantung kepada pandangan Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim yang berada di kurun ke 7H, dan mereka bukan Salaf. Mereka yang 'ghuluw' menolak para ulama Salaf seperti Imam Abu. Hanifah (seorang tabiin dan ulama -ulama tabi'in lain mengiktirafnya), Imam Malik, Imam Syafie dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka juga menolak kitab-kitab ulama yang tidak sealiran dengan pandangan Ibn Taymiyyah. Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, Albani sudah menjadi kebenaran mutlak. Bahkan kerana taksub dab 'ghuluw', mereka begitu cepat mengkafirkan dan mengatakan umat Islam masuk neraka. Bahkan di sesetengah negara, berlaku serangan pembunuhan atas hujah menghapuskan golongan musyrik. Atas sikap golongan ini, yang menjadi mangsa ialah orang-orang yang ikhlas mencari jalan Salaf dan masih boleh bertoleransi di atas perbezaan.

Ini adalah cabaran penyatuan ummat Sunni.

Allahu al-musta'an.

Saturday, 2 August 2014

ISTILAH 'SUNNAH' DAN 'MUSTAHAB'.

Ulama-ulama silam amat berhati-hati menggunakan dua istilah tersebut. Sesiapa yang mendalami perbahasan ulama, pasti akan berjumpa istilah-istilah ini. Jika sesuatu perbuatan Nabi SAW pernah buat atau suruh buat namun bukan suruhan Wajib, mereka mengatakan perkara ini adalah perkara sunnah dan berpahala jika melakukannya, namun tidak berdosa meninggalkannya.

Manakala jika perkara baik tetapi tiada nas yang menunjukkan Nabi SAW buat, dan tak bertentangan dengan kaedah Syarak dan masih dalam naungan nas Syarak, mereka mengatakan ianya 'mustahab' atau 'hasan' iaitu disukai (berpahala) dan baik dan dapat pahala.

Mengamalkan perkara Mustahab tersebut, tidak sekali-kali membinasakan sunnah, kerana pada kebiasaannya tiada nas daripada Sunnah yang mendetailkan perkara tersebut dan tiada pula larangan Syarak pada perkara tersebut.

Penggunanaan istilah 'sunat' dalam konteks masyarakat Melayu merangkumi dua istilah tersebut iaitu perkara sunnah, dan perkara mustahab yang bukan sunnah. Seorang tok guru mungkin berkata: Sunat buat perkara tu, cthnya ziarah kubur tak kira Hari Raya atau tidak. Mungkin di sini menimbulkan kekeliruan seolah-olah tok guru mengatakan apa yang Nabi SAW tak buat sebagai sunnah. Walhal mereka memaksudkan amalan-amalan yang berpahala.
 
 
Lantas mereka yang GOPOH berkata: "tok guru tu tak amanah dengan ilmu dan membuat hadis palsu!" Siapa yang gopoh, mereka cepat mengutuk ulama-ulama tersebut kerana mahu menjadi JUARA.

Allahu al-musta'an.

CARA FIKIR SALAH!


1. Tak boleh cium tangan mak bapa bila berjumpa mereka, sebab tak wajib cium pun. Kalu selalu cium, nanti ada yg beranggapan ianya wajib! Maka, anak ini pun tak cium dah tangan mak bapaknya. Takut sesat, masuk neraka.

2. Tak boleh baca yasin setiap Jumaat, nanti orang awam sangka ianya wajib. Maka, tinggalkan bacaan yasin. Takut sesat, masuk neraka.

3. Tak boleh menziarahi kubur secara sepakat hari dan waktu sesama adik-beradik (menjadualkan pergi bersama), nanti orang awam kata ianya wajib. Maka tak perlu ziarah kubur. Takut sesat dan masuk neraka.

4. Tak boleh buat qiamullail secara berjemaah dan berjadual, nanti orang awam kata wajib, jadi qiamullail lah sendiri-sendiri. Kalu tidak, pembuatnya jadi sesat dan masuk neraka.

Ni semua masalah SALAH CARA FIKIR. Kenapa disempitkan rahmat Allah SWT sebegitu sekali. Meletakkan perkataan haram dihujung lidah. Kalau orang awam salah faham, betulkan mereka tu, beritahu tak wajib. Bukan dengan meninggalkan amalan-amalan baik.

Kalu tak berjadual untuk sama-sama melakukan amalan menziarahi kubur mak ayah, macamana adik-beradik nak sepakat menziarahi bersama-sama. Dah ada yang berselfie, buang sajalah amalan berselfie, bukan dengan meninggalkan kebaikan menziarahi kubur.

Allahu al-musta'an.

Saturday, 12 July 2014

PANDANGAN SYAZ: TIADA JIHAD DI PALESTIN? SERAHLAH DIRI PADA ISRAEL!

Assalamu alaikum warahmatullah

Fatwa tiada jihad di Palestin terhadap Israel, bukan kali pertama dikeluarkan. Fatwa ini pernah dikeluarkan oleh Sykh Albani. Fatwa ini ditolak ulama seantero dunia.

Sekarang disambut oleh pengkagumnya pada setiap inci keputusan Albani. Bahkan membodohkan sesiapa masih mahu berjuang dan mempertahankan Palestin dan memboikot ISRAEL.. inilah kemuncak taqlid kepada seseorang (taklid buta kepada seseorang)...


Allahu al-Musta'an

Saturday, 22 March 2014

KENAPA 'ELERGIK PERDANA' DENGAN SELAWAT PERDANA?

Para pembaca budiman,

Saya melihat semacam suatu 'alergik perdana' kepada mereka yang menegatifkan program-program Selawat Perdana. Mereka yang elergik ini terlajak sehingga menerbitkan kalimah-kalimah takfir, sesat dan bid'ah kepada masyarakat yang mengikuti atau menghadirinya. Saya suka menyorot kembali elergik perdana mereka ini:

1. Majlis selawat sebegini suatu yang bid'ah sesat masuk neraka sebab Nabi SAW tidak pernah buat. MasyaalLah, mereka masih berpegang secara literal hadis bid'ah walhal telah dijawab oleh banyak ulama mengenai perkara itu. Majlis ini tidak menambah sebarang rukun solat, atau mana-mana ajaran baru di dalam Islam. Bahkan di dalamnya ada peringatan-peringatan dan tausiyyah untuk pesertanya.

2. Majlis ini syirik kerana mengagungkan Nabi Muhammad SAW? Pengamatan saya, adakah dengan berselawat sebegitu sudah berubah pula penyembahan kepada Nabi SAW? Tidak pula majlis ini menjadikan Nabi SAW kita berubah menjadi orang yang disembah. Tinggal lagi ia memperingatkan kepada kita sepatutnya idola kita ialah manusia yang sempurna ini.

3. Majlis ini majlis yang sia-sia kerana turut dihadiri oleh mereka-mereka yang juga turut meluluskan konsert-konsert yang mungkar? Pada saya, sepatutnya kita gembira apabila mereka masih melihat majlis-majlis yang baik untuk dihadiri. Sekiranya para habaib itu hanya senyap terhadap perlakuan mungkar pemimpin, adakah dengan senyap menunjukkan mereka bersetuju? Tidak! Sebaliknya mendatangkan program alternatif adalah jawapan kepada program mungkar tersebut. Itu adalah jawapan yang lebih tajam daripada melafazkan kata-kata melarang mereka. Bahkan inilah jalan yang lebih berhikmah.

4. Program ini membazir kerana jumlah wang yang sedemikian boleh digunakan untuk majlis dakwah yang lain. Pengamatan saya, kenapa saudara tidak melihat ini sebagai sebahagian daripada aktiviti dakwah iaitu memenuhi keperluan hiburan golongan muda. Golongan muda memang sentiasa memerlukan alunan-alunan muzik sebagaimana mereka menjadi pengikut kepada ramai artis yang menerbitkan album secara berterusan. Maka Selawat Perdana yang pelbagai boleh memenuhi keperluan mereka ini. Bahkan perlu diingat, sekiranya Selawat Perdana ini tidak dibuat, kita tidak pasti juga adakah wang ini akan dikhususkan untuk program dakwah yang lain.

5. Qasidah dan berzanji mengagungkan Nabi Muhammad SAW sehingga syirik? Pengamatan saya, ini suatu konklusi yang buruk. Ungkapan-ungkapan qasidah penuh dengan bunga-bunga bahasa. Maknanya tidak terkeluar daripada makna kemanusiaan dan mengharap syafaat Nabi SAW. Mereka yang tidak tahu seni, memang sukar memahami kelembutan dan alunan bunga-bunga bahasa.

Semoga kita semua terhindar dengan ketaksuban sesuatu pandangan khususnya aliran yang cepat mengkafirkan dan membid'ahkan umat Islam yang lain.

Monday, 30 December 2013

Debat Ilmiah antara Wahhabi dan Ahlussunnah




Para pembaca yang budiman,

Satu debat yang menarik antara dua aliran, berlangsung di Indonesia. Selamat menonton

Saturday, 7 December 2013

ARTIKEL AGAMA MENGELIRUKAN PEMBACA: MENYAKINI NAMA DAN SIFAT ALLAH

Assalamu alaikum warahmatullah

Para pembaca budiman,

Sekali lagi pembaca dihidangi dengan artikel yang boleh mengelirukan pandangan pembaca supaya berpegang kepada ‘tashbih’ kepada sifat-sifat Allah SWT yang berbentuk anggota. Namun diterima oleh pihak akhbar. Semoga sahabat-sahabat JAKIM melihat kembali artikel sebegini yang bebas disiarkan di Sinar Harian namun mempunyai penerangan yang mengelirukan akidah umat. Sedikit ulasan saya mengenai artikel ini saya warnakan kuning di bawah ini. Boleh klik ditajuk artikel tersebut untuk kembali ke artikel asal di Sinar Harian.

Wallahu a’lam, semoga umat ini diselamatkan daripada gejala mengatakan “Allah beranggota tetapi tak sama dengan makhluk”! Pengarang yang membawa pemikiran yang menyeleweng sebegini patut DIHARAMKAN menulis mengenai agama di akhbar-akhbar khususnya Sinar Harian. Pemikiran sebegini boleh membawa kepada wujudnya 'firqah musyabbihah zaman ini'.

Allahu al-musta’an

Abu al-‘Izz al-Sunni

 

Oleh: Ustaz Idris Sulaiman

Meyakini nama dan sifat ALLAH Mana mungkin ALL AH sebagai Pencipta alam ini, dan tanpa memiliki sebarang sifat kekurangan, boleh serupa dengan makhluk ciptaanNya, yang memiliki kekurangan dan sentiasa memerlukan Tuhannya? -

PARA Salaf Al-Soleh daripada generasi pertama umat Islam iaitu para sahabat, tabiin dan imam mujtahid telah ijmak (semuanya sepakat) menetapkan semua nama dan sifat-sifat ALLAH yang telah ALLAH tetapkan untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.

 Nama-nama dan sifat-Sifat ALLAH adalah tauqifiyah; iaitu wajib kita mengambilnya hanya dari al-Quran dan al-Sunnah. Akal tidak boleh berperanan, dan nama-nama sirta sifat-sifat itu tidak boleh ditambah atau dikurangi.

Ini kerana ALLAH adalah ghaib, manusia tidak pernah melihat ALLAH, dan akal tidak berupaya mengetahui apa yang layak bagi ALLAH. Bahkan, memberi nama untuk ALLAH dengan nama yang Dia tidak kehendaki atau mengingkari nama dan sifatNya yang Dia tetapkan untuk diriNya adalah pelanggaran terhadap hak ALLAH.

 Firman ALLAH, “Katakanlah: Tuhanku mengharamkan perbuatan keji, yang zahir mahupun tersembunyi, dosa, kezaliman tanpa alasan yang benar, mensyirikkan ALLAH dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) kamu berbicara tentang ALLAH apa yang kamu tidak tahu.” (Al-A’raaf: 33)

 Imam Ibn Al-Qayyim rhm. menjelaskan bahaya membicarakan tentang ALLAH tanpa ilmu (al-Quran dan Sunnah) setelah beliau menjelaskan bentuk-bentuk kesyirikan dan bahayanya.

Beliau berkata, “Berikutnya, perbuatan dosa yang bahayanya besar adalah membicarakan tentang ALLAH tanpa dasar ilmu, baik dalam masalah nama, sifat, dan perbuatanNya, atau menggambarkan sifat ALLAH dengan sifat yang berlawanan dengan sifat disebutkan oleh ALLAH dan RasulNya.

 Ini bertentangan dan berlawanan dengan hikmah ALLAH, dan mencela Rububiyah (ketuhanan) dan kemuliaan sifatNya. Ini lebih jelik dari perbuatan syirik dan lebih besar dosanya di sisi ALLAH, kerana seorang musyrik yang mengakui Rububiyah ALLAH lebih baik daripada orang yang menentang Rububiyah ALLAH yang merupakan sifat sempurna ALLAH.

Para Salaf Al-Soleh telah ijmak memahami nas-nas tentang sifat ALLAH menurut zahirnya sesuai dengan keagunganNya tanpa melakukan tahrif (mengubah maksud), tartil (mengingkari), takyif (menyoal bagaimana) dan tamsil (menyamakan dengan makhluk).

Ulama salaf yang berjalan atas ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah mereka yang paling layak mendapat jolokan Ahli Sunnah wal Jamaah. Mereka telah sepakat dalam hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abdil Bar.

“Ahli Sunnah wal Jamaah sepakat menerima dan mengakui semua sifat yang ada dalam al-Quran dan Sunnah. Mereka mengimani dan memahami Sifat-Sifat tersebut secara hakikat bukan secara majaz (kiasan).

 Tetapi mereka tidak mevisualkan sifat-sifat tersebut mahupun membatasinya dengan sifat-sifat yang terbatas.” (Fatawa Al-Hamawiyah)

Komen Dr Asmadi: Ini muqaddimah yang cukup bahaya supaya memahami makna sifat dengan makna hakiki. Apa maksudnya makna hakiki? Makna hakiki ialah makna yang difahami secara hakikat sebenar  oleh manusia. Bermakna makna hakiki duduk ialah duduk sebagaimana kita faham untuk makhluk, anggota juga makna hakikinya adalah anggota sebagaimana kita faham untuk makhluk iaitu suatu anggota. Cuma tangan, kaki manusia berbeza dengan tangan, kaki binatang dan syaitan serta malaikat. Bermaksud kita juga wajib memahami persoalan ini secara hakikat sebenar! Persoalan saya:

1.       Di mana pengarang meletakkan Firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran, ayat ke 7 yang bermaksud: DIA (Allah) yang menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran), padanya ayat-ayat muhkamat dan ianya ummul al-kitab, dan selainnya ayat-ayat mutasyabihat. Sesiapa yang dalam hatinya penyakit, maka dia mengikut apa-apa yang dia tashbihkan (serupakan) kerana mahu mencetuskan fitnah dan mahu juga mentakwilkannya (mentafsirkannya). Tiada sesiapa yang tahu takwilannya (tafsirannya) kecuali Allah SWT.

Ayat dia atas memberi ruang untuk kita tidak detail memperkatakannya dan serahkan kepada Allah. Buat apa dibuka fitnah untuk mentafsirkan ayat-ayat mutasyabih secara hakiki!


2.       Di mana hadith-hadith, kata-kata Sahabat yang menerangkan perkara ini sehingga terpaksa bersandar kepada Ibn Abd al-Bar yang wafat pada tahun 368h (bukan 300 tahun yang terawal)

3.       Lihat kata-kata Imam hadith Ibn Jauzi (w597) berkaitan pandangan pelik Ibn Abd al-Bar yang ditolak oleh Imam Ibn Jauzi (kitab Sayd al-Khatir, hal: 99, cet:2004):

لقد عجبت لرجل أندلسي يقال له: ابن عبد البر، صنف كتاب "التمهيد" فذكر فيه حديث النزول إلى السماء الدنيا، فقال: هذا يدل على أن الله تعالى على العرش، لأنه لولا ذلك، لما كان لقوله: ((ينزل)) معنى، وهذا كلام جاهل بمعرفة الله عزوجل، لأن هذا استسلف من حسه ما يعرفه من نزول الأجسام، فقاس صفة الحق عليه، فأين هؤلاء واتباع الأثر؟ ولقد تكلموا بأقبح ما يتكلم به المأولون، ثم عابوا المتكلمين.

Maknanya: Sesungguhnya aku pelik terhadap lelaki Andalusi ini, digelarkan: Ibn Abd al-Bar, mengarang kitab ‘al-Tamhid’ dan disebutkannya peristiwa ‘Turun ke langit dunia’, maka Dia (Ibn Abd al-Bar) berkata: Ini menunjukkan Allah Taala di atas al-‘Arasy, kerana jika bukan yang demikian nescaya perkataan ‘turun’ tidak memberi apa-apa faedah. (Berkata Imam Ibn Jauzi): Ini adalah perkataan ORANG JAHIL terhadap Allah SWT, kerana dia ini meminjam makna ini daripada pancainderanya apa yang dia faham berkaitan dengan turunnya perkara-perkara berjisim, maka diqiyaskan sifat al-Haq (Allah) ke atasnya, maka dimanakah mereka ini daripada mengikuti al-athar (hadis-hadis dan kata-kata sahabat)?

Jelas, pandangan Ibn Abd al-Bar tidak ada dalil-dalil daripada al-Quran mahupun sunnah! Pembaca akan berterusan tertipu dengan artikel ini! Saya pelik golongan ini, pada perosalan fiqh, mereka keras mahukan hadith-hadith, namun pada persoalan akidah mereka hanya taqlid seseorang tanpa hujah al-Quran mahupun sunnah!

Larangan bertanya kenapa dan bagaimana

Imam Al-Barbahari (wafat 329H) rahimahullah dalam kitab monumental beliau, Syarh Al-Sunnah berkata, “Tidaklah ada yang berkata dalam masalah Sifat ALLAH: bagaimana dan kenapa, kecuali orang yang ragu tentang ALLAH.

Dr Asmadi: Al-Barbahari ialah guru Ibn Battah yang mana Ibn Battah disifatkan sebagai cenderung kepada mentashbihkan Allah dengan makhluk.

Dan al-Quran adalah kalam ALLAH (bicara ALLAH), wahyu dan cahayaNya, bukan makhluk; kerana al-Quran daripada ALLAH dan apa yang daripada ALLAH bukan makhluk. Inilah yang dikatakan oleh Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal, dan para ulama sebelum mereka dan selepas mereka. Berbantah-bantahan dalam hal ini suatu kekufuran.”

Apa dimaksudkan Imam Al-Barbahari adalah orang bertanya bagaimana sifat ALLAH; bagaimana ALLAH mendengar, bagaimana ALLAH melihat, bagaimana wajah ALLAH, bagaimana Arasy ALLAH, bagaimana ALLAH istimewa, bagaimana kaki ALLAH, bagaimana ALLAH berbicara, dan seterusnya. Dia cuba membayangkan, berbincang dan memperincikan sifat ALLAH.

Komen Dr Asmadi: Setelah pengarang membina asas artikelnya di atas, dia mula mengambarkan Allah secara beranggota di atas keyakinannya mesti memahami maknanya secara hakiki (mengikut makna yang manusia fahami dengan pancaindera “makna hissi” maka diterjemahkan secara berasingan Allah berwajah, kaki Allah?.

Ahlussunnah wal Jamaah juga bersetuju memahami secara hakiki Allah maha melihat, maha mendengar, namun tidak menyerupai manusia yang memerlukan anggota. Namun, memahami secara hakiki makna “alat” untuk mendengar iaitu “telinga” akan membawa makna makhluk! Mahasuci Allah SWT daripada segala sifat menyerupai manusia iaitu beranggota, berjisim, berjirim dan sebagainya yang tidak layak bagi Allah SWT.
 
Orang ini adalah ragu tentang ALLAH, akibatnya dia menolak atau mengubah maksudnya kepada maksud lain yang sesuai dengan akalnya. Ini kerana dia tidak beriman sepenuhnya sifat-sifat ALLAH yang disebut dalam nas, sebab itu dia bertanya dan mempersoalkan.

Akibatnya, timbul syak dalam dirinya, dan imannya terhadap ALLAH menjadi kurang. Tidaklah ALLAH menyebut nama-nama dan sifat-sifatNya melainkan untuk kita memahami dan mengenal ALLAH dengan sebenar-benarnya, bukan sekadar mengenal ALLAH sebagai Tuhan.

Orang yang memikirkan dan memperincikan sifat ALLAH dengan akalnya tanpa beriman dengan zahir nas, dia tidak akan dapat memahami. Ini kerana apa jua yang dia fikir tentang ALLAH, tentu sahaja ALLAH lebih agung dan lebih tinggi dari semua itu. Orang seperti ini akhirnya akan ragu tentang ALLAH.

Ini adalah realiti yang kita lihat di kalangan masyarakat. Apabila seseorang itu tidak beriman sepenuhnya dengan sifat ALLAH, dia menjadi ragu tentang ALLAH, dia berasa imannya belum cukup, dia tidak kenal ALLAH, dia berasa ada kekurangan dalam hatinya.


Dr Asmadi: MasyaalLah, dia mewajibkan umat meyakini dan mentafsirkan sifat-sifat anggota ke atas Allah secara hakiki (secara makna manusia) sekiranya mahu menjadi orang yang benar-benar beriman! Kitab-kitab Tafsir oleh ulama-ulama Muktabar menyanggahi tafsiran ini.

Untuk menyempurnakan kekurangan tersebut, sebab itulah ramai yang pergi kepada tasawuf, tujuannya untuk mengenal ALLAH dan mengisi kekurangan dalam hati. Persoalannya, apakah benar mereka yang mengikuti jalan-jalan tasawuf ini dapat melengkapkan jiwa dan memuaskan hati dengan cara ini?

Jawapannya tentu tidak, kerana hati hanya dapat berasa tenang, dan berasa kelazatan iman dengan beriman kepada ALLAH seperti sepatutnya, iaitu mengimani sepenuhnya nama dan sifat yang ALLAH tetapkan untuk diriNya.

Dr Asmadi: Apa makna tasawuf. Tasawuf ialah merasakan diri sekiranya kita tidak boleh melihat Allah SWT, sebenarnya ALLAH melihat kita. Zikir dan wirid adalah alat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kan al-Quran dan Sunnah pun suruh kita berzikir dan berwirid.
 
Hanya dengan cara itu kita dapat ketenangan, keyakinan, kekuatan. Kita tidak risau, sedih atau takut dengan benda-benda lain atau apa yang berlaku kerana kita ada ALLAH, kita kenal ALLAH berdasarkan petunjuk wahyu, kita yakin, percaya, berharap, dan berserah hanya kepada ALLAH.

Golongan yang cuba mengenal ALLAH dengan cara lain, mereka salah dalam mendiagnos penyakit, maka mereka mengambil rawatan dan ubat yang salah. Akibatnya mereka terus sakit tidak sembuh-sembuh. Bahkan ada yang gila.

Imam Malik pernah ditanya bagaimana ALLAH istimewa berdasarkan firman ALLAH: “Al-Rahman (ALLAH) istimewa di atas Arasy” (Thaha: 5). Dia menundukkan kepala dan berpeluh (kerana marah).

Kemudian dia berkata, “Istimewa itu jelas diketahui, bagaimana Dia beristimewa tidak terjangkau oleh akal. Beriman dengannya adalah wajib. Bertanya bagaimana adalah bidaah.” (Sahih, riwayat Al-Dzahabi, Al-Baihaqi Al-Lalaka-i, dll.)

Komen Dr Asmadi: Salah nukilan kata-kata Imam Malik itu. Kata-kata itu telah diubah! Kata-kata yang sebenar ialah (al-Bayhaqi, al-Asma wa al-sifat (2005), ms411):

الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وما أراك إلا مبتدعا

Bermaksud: al-istiwa bukanlah tidak diketahui, al-kaif (bagaimana) tidak dapat difikirkan oleh aqal, beriman padanya wajib, bertanya mengenainya bid’ah dan tidaklah aku melihat kamu ini seorang pembawa bid’ah.

Imam Malik sebut “al-istiwa bukanlah tidak diketahui” sebab istiwa disebut dalam al-Quran, dan beliau tidak mahu terus mensyarahkan perkataan tersebut.

Tengok pula apa kata Imam Baihaqi (yang menjadi rujukan pengarang artikel ini) berkaitan sesetengah “al-dahk” iaitu senyum ini:

فأما المتقدمون من أصحابنا فإنهم فهموا من هذه الأحاديث ما وقع الترغيب فيه من هذه الأعمال وما وقع الخبر عنه من فضل الله سبحانه، ولم يستقلوا بتفسير الضحك مع اعتقادهم أن الله ليس بذي جوارح ومخارج.


Bermaksud: Manakala ulama-ulama mutaqaddimun (Salaf) mereka memahami hadith-hadith ini (hadith-hadith Allah senyum) sebagai mendorong mereka beramal dan apa-apa berita gembira berkaitan kurniaan Allah SWT. Mereka tidak secara bebas (dan terasing) mentafsirkan perkataan “al-Dahk” (senyum) dengan I’tiqad (keyakinan) tidaklah Allah SWT mempunyai anggota mahupun pancaindera.

Golongan ini akan terus menyebut beberapa nama ulama muktabar, tetapi apabila mensyarahkan akidah, mereka menggunakan rujukan Barbahari, Ibn Battah dan lain-lain yang cenderung tepada tashbih.
 
Haram menyerupakan ALLAH dengan makhluk

Ahli Sunnah wal Jamaah menetapkan sifat yang ALLAH tetapkan untukNya tanpa menyerupakan dengan makhluk. Firman ALLAH SWT, “Tidak ada suatu pun yang serupa denganNYA, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat” (Al-Syura: 11). Juga firman ALLAH, “Dan tidak ada satu pun yang setara denganNya.” (Al-Ikhlas: 4).

 Sebagai contoh, ALLAH menetapkan bagi diriNya sifat Mendengar dan Melihat. Ahli Sunnah wajib beriman dengan sifat ALLAH tersebut, sama sekali tidak mengingkarinya. Namun sifat ALLAH mendengar dan melihat itu tidak sama dengan sifat makhluk yang mendengar dan melihat.
 
Dr Asmadi: Kita bersetuju mengenai kenyataan ini. Tidak perlu ditakwil ayat-ayat sifat yang bukan mutasyabih.
 
Penglihatan manusia tentu tidak sama dengan penglihatan burung. Kaki manusia tidak sama dengan kaki kerusi. Apabila jelas perbezaan antara sesama makhluk dalam segala keadaan, maka tentu saja perbezaan antara ALLAH dengan makhluk lebih jelas.
 
Komen Dr Asmadi: Ketika menafikan Allah menyerupai makhluk, pengarang membawa Allah juga menyerupai makhluk. Pengarang ini tidak berani mengatakan iktiqadnya “kaki Allah tidak sama dengan kaki makhluk”. Ulama Ahlussunnah membezakan antara Sifat Allah yang maha melihat, dengan perlu kepada “penglihatan”. Allah SWT bersifat melihat tidak serupa manusia yang memerlukan penglihatan iaitu “mata”.  Pengarang cuba membawa makna Allah SWT itu bersifat “Melihat” dengan “penglihatan” iaitu “mata” tetapi mata tu tak sama dengan mata makhluk. Sebenarnya pengarang sudah menyamakan Allah SWT dengan makhluk iaitu Allah beranggota, tetapi anggota tak serupa dengan makhluk!

Mana mungkin ALLAH sebagai Pencipta yang mencipta sekalian alam ini, yang Maha Sempurna dan Maha Agung tanpa memiliki sebarang sifat kekurangan, boleh serupa dengan makhluk yang dicipta olehNya, yang memiliki kekurangan dan sentiasa memerlukan Tuhannya? Jelas bahawa perbuatan menyamakan ALLAH dengan makhluk adalah batil berdasarkan wahyu dan juga akal.

Kita meyakini  kebenaran itu ada pada Salaf. Jika tidak, bererti kita menuduh para salaf kalangan sahabat Nabi SAW dan yang mengikuti mereka dengan baik telah melakukan kebatilan atau kita menganggap mereka jahil terhadap kebenaran, atau mereka tahu kebenaran tetapi sembunyikan.

Jelas ini tidak benar, maka tidak ada jalan lebih selamat kecuali beriman sebagaimana iman dan akidah Salaf Al-Soleh.

Komen Dr Asmadi: Kita bersetuju dengan kesimpulan ini. Tidak boleh menyerupakan Allah SWT dengan makhluk iaitu tidak boleh mengatakan Allah SWT beranggota, kemudian menetapkan pula tidak menyerupai makhluk! Ini suatu pernyataan mengelirukan! Walhal, mengatakan Allah SWT itu beranggota, sudah termasuk menyerupakan Allah SWT dengan makhluk. Demikian juga memberikan makna hakiki kepada ayat-ayat atau hadis tentang “anggota”, sudah termasuk mengatakan Allah beranggota iaitu suatu kategori yang sama dengan makhluk.

Ustaz Idris Sulaiman
 Ahli majlis syura ilmuwan Malaysia (iLMU)
* Ini adalah pendapat peribadi penulis yang dipetik dari blog beliau sendiri dan tidak semestinya mewakili pandangan Sinar Harian Online.


Harapan saya: JAKIM perlu melihat kembali penerbitan oleh pengarang ini di akhbar-akhbar tempatan khsusnya dalam persoalan akidah. Sila KLIK di sini untuk penjelasan lanjut mengenai isu ini.(
Berita terbaru: link kepada artikel di bawah ini tidak boleh dibuka, sila copy di sini untuk dapatkan hardcopy).