Apabila meletusnya revolusi di Timur Tengah, hampir semua pencinta kebenaran dan pembenci kezaliman bersemangat mahu mengikuti perkembangan revolusi ini. Kita mendoakan mereka berjaya dalam tuntutan mereka secara aman.
Malangnya, ada juga yang mahu menjadi dan mengambil kesempatan menghentam 'ulama-ulama' dengan penuh 'kebiadaban', tanpa membuat sedikit penyelidikan (inilah masalahnya kalau tiada budaya penyelidikan dalam diri dan penuh kegopohan). Sikap ini amat ditakuti boleh mempengaruhi orang-orang yang taksub kepada 'individu sebegini'.
Namun, sikap sebegini memang sudah menjadi kelaziman 'individu' ini. Kalau imam-imam silam pun mudah dihina dan diperlekeh, apatah lagi ulama-ulama semasa...Semoga Allah SWT memelihara kita dari termasuk dalam golongan memakan 'daging-daging ulama' kerana daging-daging mereka adalah 'beracun'.
Saya terbaca satu komen di blog mengenai sikap Mufti Mesir dan Shaykh al-Azhar berkaitan revolusi ini. Semoga ia mampu menutup cercaan para 'pencerca ulama'. Sila baca di bawah atau klik tajuk di atas
Allahu al-Musta'an.
Abu al-'Izz
Minggu, 20 Februari 2011
Menjelaskan sikap Syeikh Azhar dan Mufti Mesir terhadap Demontrasi di Mesir
Oleh: Us. Muhammad Husni Ginting (http://allangkati.blogspot.com/)
Banyak dikalangan kita yang tidak menjaga lidah dan hatinya terhadap ulama-ulama islam yang telah berjuang untuk meninggikan islam, terlebih lagi pada saat ini, setelah terjadinya revolusi rakyat Mesir yang mengakibatkan Presiden Mesir Muhammad Husni Mubarok meletakkan jabatannya kepada Majlis Petinggi Tentera.
Sebahagian orang menuduh Syeikh Azhar Ahmad Toyyib dan Doktor Ali Jum`ah tidak pro terhadap demontrasi yang dilakukan oleh kumpulan pemuda-pemuda Mesir, mereka menganggap Syeih Ahmad Toyyib dan Syeikh Ali Jum`ah adalah ulama yang jahat dan penjilat pemerintah, mereka tidak mampu untuk bersangka baik terhadap ulama-ulama islam.
Mereka menganggap bahwa Syeikh Azhar berdiri bersama pemimpin yang zolim, mereka juga bertanya kenapa Azhar tidak berfatwa seperti Syeikh Yusuf Qardhawi tentang bolehnya revolusi, sebelumnya saya akan sebutkan sikaf dan fatwa Syeikh Ahmad Toyyib ketika terjadinya Demontrasi rakyat Mesir.
1 - Syeikh Ahmad Toyyib memperbolehkan Demontrasi dengan syarat aman, dan jauh dari kekerasan, sebab jika ada kekerasan maka akan dapat menimbulkan fitnah kepada umat islam sendiri.
2 - Ketika terjadi Demontrasi dengan kekerasan,(tanggal 28 - 1 - 2011 ) sehingga gedung-gedung pemerintahan di bakar, mobil-mobil polisi di bakar, sehingga jatuh korban dari pihak Pendemontrasi dan pihak kepolisian, kedai, toko-toko dan pusat perbelanjaan di rampas, di jarah dan di hancurkan maka turunlah seruan Syeikh Azhar agar para Pendemontrasi tidak menggunakan kekerasan, membakar, dan menjarah barang-barang dagangan.
3 - Ketika terjadi bentrokkan diantara pro Husni Mubarok dan Pro Demontrsi sehingga merenggut jiwa dari kedua belah pihak, maka Syeikh Azhar menghimbau agar pemuda-pemuda datang ke Masyaikhatul Azhar membicarakan jalan keluar yang terbaik untuk ummat sehingga tidak menelan korba jiwa dari kalangan umat islam, keresahan azhar sangat terlihat ketika kondisi Mesir menjadi kacau dan tidak aman, jadi menurut Syeikh Azhar jalan yang terbaik adalah duduk bersama berunding mencari jalan penyelesaian.
4 - Ketika banyaknya pendemo yang jatuh menjadi korban maka Syeikh Azhar mengeluarkan pernyatan bahwa orang yang meninggal ketika waktu berdemontrasi adalah gugur secara Syahid, sebagaimana yang di jelaskan oleh Duta besar Azhar dan juru bicaranya Rifa`ah Thahthawi di surat kabar mingguan Sautul Azhar 15 Rabi`ul Awwal 1432 H.
5 - Syeikh Azhar juga mengutus Doktor Hasan Syafi`i ke Medan Tahrir untuk menyampaikan seluruh perasaan hati Syeikh Azhar, tetapi disebabkan ramainya para pengunjuk rasa sehingga Doktor Hasan Syafi`i tidak mampu masuk ke Medan Tahrir, sehingga beliau turun bergabung dengan para Pendemontrasi di kawasan jalan Masbiru ( berhampiran dengan pusat televisi dan medan Tahrir -red).
6- Syeikh Azhar juga menegaskan bahwa Azhar berdiri bersama rakyat Mesir dan perubahan.
Di sini juga saya ingin menegaskan bahwa antara Syeikh Qardhawi dan Syeikh Ahmad Toyyib memiliki pandangan yang berbeda didalam menyelesaikan permasalahan yang berlaku di Mesir, dan ini suatu kewajaran bagi ulama islam yang memiliki keilmuan dan kekuatan untuk berijtihad, kedua-duanya menginginkan maslahah yang baik bagi umat islam, tetapi jalan pemikiran dan dasar-dasar dalil mereka memiliki perbedaan.
Perbedaan pendapat Syeikh Ahad Toyyib dengan Syeikh Qardhawi bukan berdasarkan kecintaan terhadap dunia, tetapi berdasarkan mana yang paling terbaik dari antara yang baik dan menjauhkan kemudratan yang lebih besar dari umat islam khususnya rakyat Mesir.
Di tegaskan oleh jugu bicara Azhar Rifa`ah Thahthawi bahwa Syeikh Azhar telah mengundang Syeikh Yusuf Qardhawi untuk mengadakan berbagai macam kegiatan di Mesir, yang selama ini (sebelum diangkatnya Syeikh Ahmad toyyib menjadi Syeikh Azhar -red ) Syeikh Yusuf Qardhawi tidak boleh datang dan mengisi program ilmiyah di Mesir dan Azhar, tetapi Syeikh Ahmad Toyyib mmembuat perubahan dengan menerima Syeikh Qardhawi menjadi anggota dewan pusat penelitian islam ( Majma` Bu`uts Islami - red ) dan mengundangnya untuk menghadiri dan menyampaikan kajian ilmiyah di muktamar Ikatan graduan Azhar, pada tanggal 25 Januari 2011 Syeikh Qardhawi juga hadir dalam jemputan Syeikh Azhar, tetapi pihak keamanan dan kepolisian Mesir ingin menangkap Syeikh Yusuf Qardhawi, dengan lantang Syeikh Ahmad Toyyib berkata kepada kepolisian " Bila kamu tangkap Syeikh Yusuf Qardhawi maka saya akan melatakkan jabatan dari Syekh al-Azhar".
Beginilah sikap Syeikh al-Azhar terhadap Syeikh Yusuf Qardhawi, beliau sangat menghormati Syeikh Qardhawi.
Ada juga di kalangan ulama yang berpendapat bahwa perubahan itu di tuntut, berunjuk rasa itu perlu tetapi tidak dengan kekerasan, dan tidak boleh memberontak dan keluar dari pemimpin dan menuntutnya turun, tetapi bersabar sebagimana yang telah berlaku dengan ulama salafus Solihin. alasan mereka sebagai berikut :
1 - Didalam agama islam tidak ada ketentuan berapa tahun khalifah dan pemimpin menjabat kedudukkan, tidak di sebutkan didalam al-Qur`an dan al-Hadis tentang masa jabatan, sebab itulah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Mu`awiyyah menjabat kedudukkan khalifah sampai hayat mereka, dan hal ini telah berjalan terus sampai masa ke khalifahan Usmaniyah, bagaimana jika kita membuat kembali kekhalifahan islam, apakah kalifah sepanjang umur atau di tentukan waktunya, cobalah cari dalil qur`an dan sunnah tentang penetapan batas waktu jabatan pemimpin.
Lagi pula Mubarok telah menegaskan bahwa dia tidak akan mengikuti pemilhan umam lagi, dan masa jabatannya akan berakhir pada bulan september tahun 2011 ini, dengan begitu perlu bersabar sampai bulan september sehingga tidak menelan korban jiwa yang banyak.
2 - Kezoliman Mubarok bukan berarti membolehkan kita untuk keluar dari kekuasaanya, sebab Rasul telah melarang hal yang demikian
، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : " من كره من أميره شيئا فليصبر ، فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية " *
Artinya : "Barang siapa yang benci terhadap pemimpinnya maka hendaklah bersabar, maka sesungguhnya orang yang keluar dari pemimpinnya walupu satu jengkal maka dia mati seperti orang jahilyyah. HR Bukhari. 6665
3 - Hadis Rasulullah s.a.w :
عن الزبير بن عدي ، قال : أتينا أنس بن مالك ،
tقشكونا إليه ما نلقى من الحجاج ، فقال : " اصبروا ، فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه ، حتى تلقوا ربكم " سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم
ِArtinya : Berkata Zubair :Kami mendatangi Anas bin Malik,maka kami mengadu kepadanya dari kezoliman Hajaj yang menimpa kami, Maka berkata Anas : Sabarlah kamu semuanya, karena tidak akan datang masa kepada kamu kecuali yang setelahnya itu lebih buruk lagi darinya, sehingga kamu berjumpa tuhanmu , Aku telah mendengar hal ini dari Nabi kamu s.a.w.HR.Bukari no:6675.
4 - Hadis Rasulullah :
سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا نبي الله أريت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعون حقنا فما تأمرنا ؟ فأعرض عنه، ثم سأله فأعرض عنه، ثم سأله ثانية أو ثالثة، فجذبه الأشعث بن قيس ، وقال " اسمعوا وأطعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
Artinya : Salamah bin Yazid bertanya kepda Rasulullah s.a.w. beliau berkata : Wahai Nabi Allah ! Bagaimana pendapatMu jika yang memimpin kami meminta hak mereka kepada kami ( keta`atan ), dn tidak memberikan kepada kami hak-hak kami, Apa yang kamu suruh untuk kami perbuat?, maka Rasul berpaling darinya, kemudian dia ( Salamah-red ) bertanya pula, Rasulpun berpaling darinya, kemudian dia bertanya pula kali yang kedua atau yang ketiga, maka al-Asy`ats bin Qais menariknya, Bersabda Rasulullah :Dengarkan dan ta`atkan kamulah ( pemimpin-pemimpin kamu-red ) Sesungguhnya atas mereka tanggung jawab yang mereka bawa, dan diatas pundak kamu tanggung jawab yang kamu pikul. (HR Muslim no 1846 ).
cukup tiga hadis ini saja, sebab banyak lagi hadis-hadis yang lain yang melarang untuk keluar dari pemerintah, bahkan di perintahkan untuk bersabar.
Berkata Imam al-Hafizh Abu Ja`far Ahmad bin Muhammad at-Thohawi 321 hijriyah :
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا إن جاروا
Artinya : Kami tidak berpendapat untuk keluar dari keta`atan terhadap pemimpin-pemimpin kami dan yang memegang perkara kami walaupun mereka itu jahat.( Aqidah Tohawi )
Dari hadis seperti ini lah para shabat dan tabi`in bersabar dari kezoliman Hajaj as-Saqafi yang telah banyak membunuh dari para sahabat Rasul dan Tabi`in.
Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama-ulama besar yang di siksa ( didalam permaslahan al-Qur`an itu makhluk atau qadim ), mereka bersabar dengan pendapat mereka, tetapi mereka tidak mengajak umat untuk membrontak kekhalifahan Abbasiyyah dan tidak mengajak umat menjatuhkan khalifah.
Ini adalah sikap ulama-ulama salaf, kita tidak boleh kata mereka bodoh kerena tidak berusaha untuk mengobah keadaanm tetapi mereka sudah menasehati, jadi tindakkan terakhir bersabar atas kezoliman.
Sebenarnya masih banyak lagi alasan ulama-ulama yang tidak membenarkan menjatuhkan pemimpin tanpa keputusan undang-undang tetapi kami padakan saja dalil mereka.
Kesimpulannya :
1 - Janganlah kita mudah berburuk sangka dan menghina apa yang telah di sampaikan oleh ulama-ulama kita, cobalah mengambil segi baiknya, sebab mereka berpendapat seperti itu karena memiliki alasan yang tertentu dan berdalilkan syari`at.
2 - Perjuangan rakyat Mesir belum habis, memerlukan kegigihan dan kesabaran untuk mencapai tujuan, membersihkan Mesir dari Raswah, korupsi , dan kejahatan, lihat Tunis sampai sekarang msih dalam keadaan tidak aman, kita juga perlu lihat Indonesia yang pernah berhasil menjatuhkan Suharto karena beliau suka korupsi dan zolim, tetapi setelah revolusi terjadi, Suharto jatuh dari kursinya, korupsi juga masih berjalan, roswah juga masih berlaku, kejahatan juga tidak pernah reda.
3 - Mesir bukan hanya memerlukan revolusi Presiden tetapi juga sangat memerlukan revolusi akhlak, yang mana akhlak pemudanya sekarang benar-benar rusak, ganja,obat-obat terlarang sudah menjadi teman bagi sebahagian pemuda, pencurian, penodongan dan pembunuhan juga banyak berlaku, membuang sampah di jalanan, kencing di sembarang tempat, tidak menjalankan tugas dengan benar dan ssterusnya, jika kita telah berhasil merubah presiden tetapi tak mampu merubah akhlak rakyat maka jangan heran jika akan datang presiden berikutnya yang suka Roswah dan korupsi, jangan heran jika kita ingin melaksanakan segala penyiapan surat menyurat mendapat kata-kata " Bukrah " ( Besok ).
WEBLOG INI MENGEMUKAKAN ISU-ISU YANG BERKAITAN DENGAN MASYARAKAT ISLAM. SEMOGA CETUSAN IDEA PENULIS DAN SISIPAN DARI ARTIKEL TERPILIH MEMBERI MANFAAT UNTUK PEMBACA...SELAMAT MEMBACA.... Susunan Akhukum fillah: Dr. Asmadi Mohamed Naim (إعداد د. أسمادي محمد نعيم)
Selamat Datang ke Weblog Dr Asmadi Mohamed Naim 'Nazil al-Qadah'
أهلا وسهلا ومرحبا بكم إلى موقع إلكتروني للدكتور أسمادي محمد نعيم نزيل القدح باللغة الماليزية
Showing posts with label kebiadapan pada ulama. Show all posts
Showing posts with label kebiadapan pada ulama. Show all posts
Wednesday, 23 February 2011
Saturday, 21 November 2009
SEKITAR RAKAMAN AL-kULLIYYAH: ANTARA ADAB DAN BIADAP
Saya terbaca coretan Rakaman al-Kulliyah yang diadakan di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Menarik coretan ini. Ditulis oleh Akhie Naim di dalam blogspotnya http://akhienaim.blogspot.com. Selamat membaca.
SEKITAR RAKAMAN AL-kULLIYYAH: ANTARA ADAB DAN BIADAP
Oleh: Akhienaim
Malam tadi (19 November 2009), saya mengikuti sesi rakaman rancangan Al-Kuliyyah (TV3) di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Sesi kali ini agak menarik, dengan tajuk “1 Akidah” rancangan kali ini menampilkan Al-Fadhil Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin dan Dr. Fauzi Deraman. Perbincangan yang bertajuk “1 Akidah” ternyata banyak berkisar sekitar persoalan tentang adab, tentang perbezaan pendapat. Itupun, tidak sepenuhnya perbincangan itu bersifat ilmiah. Apa yang pasti, Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin dan Dr. Fauzi Deraman mengecewakan. Sikap dan kata-kata mereka ternyata menggambarkan suatu kebiadaban; apa yang diistilahkan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady sebagai fenomena “kebiadaban intelektual”.
Perbezaan pendapat adalah suatu lumrah yang tidak mungkin boleh dielakkan. Justeru, menurut Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, dalam ajaran Islam telahpun disiapkan panduan dan pedoman untuk menangani perbezaan pendapat tersebut. Sepertimana yang telah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kitab suci Al-Qur’an, kita hendaklah mengikuti jalan orang-orang yang beriman (sabiilil-mu’minin); yakni, kita hendaklah patuh kepada ijma’ ‘ulama – kesepakatan majoriti ‘ulama. Beliau menghuraikan, ini maksudnya kita hendaklah taat kepada ajaran Islam arus perdana. Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady memetik di dalam kitab Fathul Bari yang menyatakan bahawa imam-imam yang muktabar di dalam Ahli Sunnah wal Jamaah adalah perlu ditaati sama ada dari segi aqidah, syariat mahupun akhlak. Jika adapun perbezaan pendapat, maka hal itu haruslah ditangani secara cermat dan dengan penuh adab.
Apa yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady tersebut ternyata merupakan satu panduan yang penting kerana apa yang sedang berlaku di dalam negara ini pada hari ini adalah sikap segelintir “kaum muda” (Salafi, Wahabi, gerakan Tajdid, atau apa sahaja namanya) yang cuba melawan ‘arus perdana’. Amalan dan pegangan umat Islam di negara ini, yang merupakan amalan dan pegangan arus perdana yang telah disusun hasil kesepakatan para ‘ulama, cuba dicabar tanpa kita memahami apakah maksud sebenar di sebaliknya. Kelihatannya, hanyalah kerana mereka itu inginkan publisiti dan ingin menjadi jaguh yang dikenali di dalam masyarakat. Apakah ada keperluan amalan membaca doa qunut yang telah lama diamalkan oleh masyarakat negara ini dilawan? Apakah ada keperluan amalan membuat majlis tahlil arwah diharamkan? Apakah ada keperluan Selawat Syifa’ yang sangat masyhur di kalangan masyarakat negara ini dikatakan amalan yang salah? Itu semua adalah amalan yang datangnya melalui ajaran arus perdana di negara ini, yang semuanya ada dalil dan nas yang menyebabkan para ‘ulama mengajar amalan-amalan tersebut.
Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin (MAZA) kemudian menyebut tentang sikap majoriti para imam mazhab, yang menyuruh agar ditinggalkan pendapatnya apabila ada dalil yang sahih yang bercanggah dengan pendapatnya. Hal itu, menurutnya, menjadi bukti betapa para imam menghormati dalil dan nas. Dr. MAZA juga menyebut bahawa adalah penting untuk menghormati pandangan para ‘ulama muktabar; apa yang diistilahkan di dalam usul fiqh sebagai ijma’ ‘ulama. Dr. MAZA juga menyentuh tentang masalah fanatik mazhab. Sehinggakan, katanya, hanya kerana berbeza pandangan seseorang itu boleh dihukum sesat, biadap dan sebagainya.
Hal ini telahpun disanggah dengan mudahnya oleh Al-Fadhil Ustaz Yusri Mohd. melalui soalan beliau kepada Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady. Kata-kata para imam mazhab bahawa “apabila bertemu dalil yang sahih hendaklah ditinggalkan pendapatku” adalah kata-kata khusus yang ditujukan kepada para ‘ulama jua, dan bukannya kepada orang awam seperti kita semua. Kata-kata tersebut ditujukan khusus kepada para ‘ulama yang berkapasiti untuk membuat ijtihad. Mana mungkin masyarakat awam, ataupun sesiapa sahaja yang mempelajari ilmu agama tetapi tidak sampai ke tahap mujtahid, untuk membuat ijtihad sendiri apabila bertemu sahaja hadith sahih (atau yang dikatakan sahih) di dalam kitab-kitab mahupun buku-buku. Apakah ada jaminan interpretasi mereka terhadap maksud hadith itu betul? Apakah mereka faham benar konteks kegunaan hadith tersebut? Harus diingat bahawa hadith itu datangnya dengan konteks yang tertentu. Kerana itu kita banyak bertemu hadith-hadith yang kelihatannya seperti bercanggah antara satu sama lain, tetapi sebenarnya tidak kerana konteksnya berbeza. Cukup menghairankan apabila Dr. MAZA menekankan tentang perlunya kita patuh kepada ijma’ ‘ulama, tetapi dia sendiri menentang aliran arus perdana (yang merupakan hasil ijma’ ‘ulama) di negara ini; seperti contoh, dia mempertikaikan dan memperlekeh majlis maulid, memperlekeh al-Fadhil Syeikh Jaafar al-Barzanji (bacaan Maulid Barzanji – disebut ‘berzanji’ oleh orang Melayu – telah lama diamalkan di negara ini), dan sebagainya yang mana semuanya adalah perkara-perkara yang dipersetujui oleh para ‘ulama. Jika adapun pandangan berbeza, maka itu adalah perbezaan pendapat yang tidak wajar dan tidak patut dijadikan polemik di dalam masyarakat! Hormatilah apa yang telah disusun oleh para ‘ulama terdahulu untuk kesejahteraan umat Islam di negara ini!
Pensyarah di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya (APIUM), Dr. Fauzi Deraman kemudiannya menyatakan bahawa semua orang, termasuk para ‘ulama, adalah tertakluk kepada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahawa kita semua tidak dikurniakan pengetahuan melainkan sedikit. Justeru, Al-Qur’an juga mengajarkan kita agar “bertanyalah kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahui”. Menurutnya, setiap orang ada bidang kepakaran masing-masing dan bidang tersebut harus dihormati. Tentang fenomena masa kini di mana semakin ramai orang awam yang turut melibatkan diri dalam perbincangan terbuka tentang hal-hal agama yang sebenarnya bukan bidang mereka, Dr. Fauzi Deraman menyatakan bahawa orang awam tidaklah wajar disalahkan sepenuhnya kerana orang awam mengikuti ‘mentor’ mereka. Maka, apa yang penting adalah orang awam harus dididik dan diberikan panduan yang betul. Apa yang dikatakan oleh Dr. Fauzi Deraman ternyata benar. Namun, apa yang berlaku pada hari ini adalah orang sudah tidak menghormati autoriti. Dalam hal agama sebagai contoh, semakin ramai orang sudah tidak lagi menghormati autoriti kerana terpengaruh dengan sikap segelintir orang muda yang kononnya berilmu, mungkin kerana memilik Ph.D. lalu memakai gelaran ‘Doktor’ di hadapan namanya, yang dengan sewenang-wenangnya mempersoal dan mempertikaikan pendapat para ‘ulama sedangkan mereka bukanlah orang yang layak untuk melakukan hal yang sedemikian. Ada juga di kalangan para ilmuan sombong ini yang mengatakan diri mereka, ataupun mengatakan ‘ulama ikutan mereka, sebagai pakar hadith dan memakai gelar ‘Al-Muhaddith’ sedangkan antara syarat untuk seseorang itu digelar ‘Al-Muhaddith’ adalah ia haruslah menghafal 100,000 hadith! Itu belum termasuk syarat mempunyai dan menghafal sanad hadith. Sedangkan golongan ‘ulama sombong ini menolak amalan pemberian ijazah hadith; maka mana mungkin mereka menjadi pakar hadith!
Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady memberikan satu peringatan yang ringkas tetapi penuh makna; bahawa setiap urusan itu haruslah diserahkan kepada ahlinya. Peringatan daripada Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita merujuk kepada ahlinya dan tidak memandai-mandai. Justeru, dalam soal memberikan pandangan, sepertimana yang dipraktikkan oleh para salafussoleh, hendaknya para ‘ulama itu berbincang di dalam wacana “para ‘ulama” untuk mendapatkan kesepakatan – dengan mengambil kira semua faktor – sebelum akhirnya keputusan itu disalurkan kepada orang ramai. Apa yang berlaku pada hari ini adalah kita terpengaruh dengan wacana ala pasca-modenisme, yang menganggap semua wacana adalah sama – atas nama ‘kebebasan bersuara’.
Penekanan yang diberikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady ini, walaupun ringkas, tetapi adalah sangat fundamental. Apa yang disebutkan adalah tentang hal adab. Hal ini demikian kerana tidak semua orang mempunyai kelayakan untuk membincangkan semua perkara. Perkara-perkara yang berkaitan dengan pengajian ‘aqidah, berkaitan dengan fiqh dan akhlak, yang sudah tentu akan ditemukan banyak perbezaan pendapat tentangnya, adalah perkara-perkara yang tidak wajar, tidak patut dan tidak perlu untuk dibincangkan di dalam wacana terbuka di tengah-tengah masyarakat yang rata-ratanya tidak berkeahlian dalam hal ilmu Islam. Justeru, di situlah peranan para ‘ulama untuk menyusun dan menyepakati apakah kaedah, pendekatan, amalan, dan sebagainya yang patut diketengahkan kepada masyarakat. Itulah yang dilakukan oleh para imam mazhab dan para mujtahidin. Mereka meneliti dalil dan menyusun amalan-amalan dalam agama agar mudah diikuti oleh orang awam; agar tidak perlu lagi orang awam melalui proses penelitian dalil kerana tidak semua orang berkapasiti untuk memahami dengan benar dalil Al-Qur’an dan Al-Hadith, apatah lagi untuk mencapai tahap mujtahid! Tindakan membawa wacana yang berkaitan dengan penentuan asas-asas serta amalan-amalan dalam agama ke tengah kancah masyarakat, hanyalah akan menyebabkan berlaku kecelaruan kerana masyarakat akan mula keliru, dan lebih teruk lagi sudah mula muncul di tengah-tengah masyarakat golongan muda (khususnya) yang dengan beraninya berwacana menggunakan nama-nama ‘ulama seperti Imam Syafie, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan sebagainya, sedangkan mereka hanyalah ‘berguru’ dengan Internet ataupun dengan membaca sendiri buku-buku para ‘ulama tersebut. Jika adapun guru tempat merujuk, hanyalah seorang atau dua orang guru-guru yang tidak mempunyai susur galur ilmu yang mantap. Hal ini berlaku kerana melihatkan wacana-wacana yang semakin banyak dibincangkan secara terbuka, sehingga mereka merasakan bahawa sesiapa sahaja layak untuk membincangkan persoalan agama.
Bagaimanapun, Dr. MAZA seolah-olah gagal memahami apa yang cuba disampaikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady. Dia memetik hadith yang menyatakan bahawa Allah akan membangkitkan seorang ‘mujaddid’ (pembaharu urusan agama) pada setiap 100 tahun. Dia menyentuh tentang bagaimana urusan membaharui urusan agama ini telah dilakukan oleh semua mujaddid, biarpun ditentang hebat. Dia menyebut cabaran-cabaran yang dihadapi oleh Imam Ahmad, Imam Syafie dan sebagainya dalam menyatakan kebenaran. Saya tertanya-tanya, apakah dia mahu menyamakan dirinya dengan Imam Ahmad dan Imam Syafie? Dia menyebut contoh-contoh itu sebagai menyatakan bahawa dirinya juga perlu melakukan ‘tajdid’ (membaharui urusan agama) biarpun sukar diterima. Namun, sekali lagi, perlu diperhatikan siapakah Imam Ahmad dan siapakah Imam Syafie? Mereka adalah ornag yang diberikan pembukaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga mempunyai keluasan ilmu yang hebat. Sekiranya salah seorang daripada mereka masih hidup pada hari ini, maka tidaklah keterlaluan jika dikatakan adalah wajib bagi seluruh umat Islam di dunia ini mematuhinya sebagai rujukan utama masa kini! Siapalah Dr. MAZA jika hendak dibandingkan dengan Imam Syafie, Imam Ahmad? Juga, harus diperhatikan apakah yang diperjuangkan oleh imam-imam besar itu sama seperti apa yang diperjuangkan oleh Dr. MAZA? Imam Syafie dan Imam Ahmad berjuang untuk membetulkan ‘aqidah umat Islam (diulangi: ‘aqidah), kerana tanpa ‘aqidah yang betul boleh jatuh kufur seseorang itu. Sedangkan di negara ini kita sudah mempunyai suatu susunan amalan dan pegangan yang betul, tidak perlu lagi dipertikaikan!
Dr. MAZA kemudiannya menyatakan, sebagai membantah pandangan Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, bahawa sekiranya dia perlu berbincang dahulu sebelum menyampaikan pandangannya, maka tidak akan berlakulah “sampaikan daripadaku walaupun sepotong ayat”. Saya dan rakan-rakan di pentas penonton hanya mampu menepuk dahi dek kerana lemahnya hujah yang digunakan oleh dia. Hadith tersebut bukan untuk hal tajdid! Jika hadith tersebut adalah berkaitan dengan hal tajdid, maka mudah sangatlah proses tajdid itu dan tidak perlulah dibangkitkan seorang mujaddid kerana sesiapa sahaja boleh melakukannya! Juga, apa yang dimaksudkan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady agar diadakan perbincangan di peringkat para ‘ulama terlebih dahulu bukanlah maksudnya agar jangan dilakukan dakwah! Maksud beliau adalah supaya perkara-perkara khilaf, perkara-perkara yang berkaitan dengan dasar, dengan pendekatan dan sebagainya, dibincangkan secara ilmiah terlebih dahulu di kalangan para ‘ulama, agar para ‘ulama yang berkeahlian itu dapat memutuskan apakah dia yang paling sesuai untuk disalurkan kepada masyarakat. Hal ini demikian kerana masyarakat tidak berkeahlian untuk menentukan bagi diri mereka sendiri apakah yang patut atau tidak, apa yang benar atau tidak. Nah, bukankah di dalam wacana para ‘ulama itu masih ada peluang untuk ‘menyampaikan daripada Rasulullah walaupun sepotong ayat’. Keluarkanlah apa sahaja dalil dan nas yang diketahui di dalam wacana para ‘ulama kerana memang sifat wacana itu ilmiah. Mengapa harus dibawa kepada masyarakat? Adakah kerana ingin dikenali, ingin dilihat sebagai jaguh? Jika benar ingin manfaat dan faedah bagi masyarakat, bukankah pandangan dan usaha ijma’ ‘ulama itu lebih kukuh dan lebih baik daripada usaha beberapa kerat individu? Logik ini terlalu mudah, hanya mereka yang tertutup minda dan hatinya sahaja yang akan gagal memahaminya.
Dr. Fauzi Deraman pula menyatakan bahawa perselisihan (dalam hal dasar agama) tidak berlaku di zaman Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam, kerana ada kaitannya dengan metodologi pada zaman itu. Saya mungkin boleh bersetuju dengan kenyataan itu kerana memang ada kebenarannya. Namun, sebab utama mengapa tidak berlakunya perselisihan pada zaman tersebut adalah semata-mata kerana baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam! Baginda adalah ikutan ulung para sahabat, baginda adalah contoh, baginda adalah rujukan utama! Para sahabat patuh dan taat kepada baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam tanpa soal: ini dinamakan taqlid! Benar, dalam Islam ada kebenaran untuk taqlid, bagi orang yang tidak mampu berijtihad seperti kita semua! Jika ada yang ingin menyanggah dengan mengatakan bahawa bertaqlid dengan Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam sahaja yang boleh, maka ketahuilah bahawa Rasulullah telah mengiktiraf generasi salafussoleh, para Khulafa’ Ar-Rasyidiin dan Ahlul Bait sebagai kelompok yang harus kita ikuti dan contohi.
Namun, saya ternyata tidak bersetuju dengan kenyataan Dr. Fauzi Deraman yang menyatakan bahawa para sahabat tidaklah belajar banyak sangat tentang ‘aqidah. Kenyataan itu ternyata adalah suatu kenyataan yang sangat biadap! Para sahabat adalah mereka yang paling ‘arif tentang ‘aqidah! Kenyataan dia seolah-olah menggambarkan bahawa umat Islam yang terkemudian lebih maju dalam hal pengajian ‘aqidah! Memang benar bahawa para sahabat tidaklah mempunyai sistem pengajian yang canggih (baca: berkecamuk) sepertimana apa yang kita ada pada hari ini. Tetapi harus difahami bahawa para sahabat adalah mereka yang paling mantap ‘aqidah mereka, dan menjadi rujukan kita semua sehingga ke hari ini! Para sahabat adalah contoh kita dalam hal ‘aqidah. Bukankah dalam pembelajaran ‘aqidah pada hari ini pun kita memetik contoh-contoh daripada kisah sahabat? Penyusunan sistem bagi kita mempelajari dan memahami ‘aqidah yang benar seperti yang dilakukan oleh Al-Imam Abu Hassan Al-Asy’ari adalah juga bersumberkan kepada para sahabat, yang sudah tentunya datangnya pula daripada Sayyiduna Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Jika dikatakan para sahabat tidak banyak belajar ‘aqidah, adalah tidak benar sama sekali kerana para sahabat berada bersama Rasulullah, dan mereka mempelajari keseluruhan isi kandungan kitab suci Al-Qur’an secara langsung daripada baginda Rasulullah! Mereka mempelajari ‘aqidah daripada dua sumber utamanya: Al-Qur’an dan Rasulullah! Mana mungkin mereka tidak banyak belajar ‘aqidah!
Justeru itulah Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady mengingatkan semua tentang niat. Menurut beliau, niat itu adalah penting kerana setiap amalan itu nilaiannya bergantung kepada niat. Niat yang tidak betul akan merosakkan amalan; sepertimana solat menjadi rosak, sedekah menjadi sia-sia jika niatnya adalah untuk membangga dan menonjolkan diri. Hal ini, menurut Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, adalah sesuatu perkara yang sangat asas dan sangat penting tetapi ramai orang terlupa, termasuk sesetengah orang yang berilmu. Dalam melakukan pembaikan, teguran dan sebagainya kita haruslah ikhlas kerana mencari redha Allah Subhanahu wa ta’ala. Justeru, apa yang penting adalah kita menghormati orang lain, kita menghormati ‘ulil amri’. Jika ingin melakukan teguran, hendaklah dilakukan dengan cara baik dan cara berhikmah, bukannya dengan cara terus memaparkan kritikan itu di dada akhbar sehingga boleh mengakibatkan malu dan keresahan. Inilah adab namanya! Hal ini demikian kerana, jika benar kita ikhlas ingin menegur dan membuat pembaharuan maka sudah tentu boleh sahaja teguran itu disalurkan terus kepada pihak berwajib – kepada para pemerintah, kepada para ‘ulama – tanpa perlu melalui media massa. Kerana yang diinginkan adalah menyampaikan teguran dengan cara baik, bukan mencari populariti!
Mungkin disebabkan terasa dengan teguran ‘pedas’ Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, Dr. MAZA naik suara sedikit. Dia menyatakan bahawa adalah tidak patut jika seseorang itu berbeza pendapat dengan orang lain, maka orang lain itu terus dituduh sebagai sesat, Wahabi dan sebagainya. Saya bersetuju dengan pandangan Dr. MAZA. Namun, ternyata di situ tersisip suatu keangkuhan dan cubaan untuk memutarbelitkan apa yang sebenarnya berlaku di negara ini. Harus difahami bahawa pertuduhan “sesat”, “Wahabi” dan sebagainya yang dilontarkan kepada individu-individu tertentu bukanlah dibuat secara semberono! Ya, mungkin sahaja ada di kalangan masyarakat awam di negara ini yang agak ‘emosional’ dan dengan mudahnya melabel orang dengan label yang pelbagai. Namun, di peringkat para ‘ulama dan intelektual, menghukum seseorang itu sebagai “sesat”, atau sebagai berfahaman “Wahabi” adalah sesuatu yang dibuat secara ilmiah. Apabila telah jelas dan telah zahir seseorang itu sesat, apakah mungkin kita mendiamkan diri dan tidak menyatakannya? Apakah hanya kerana semata-mata ingin meraikan ‘perbezaan pandangan’, maka kita tidak boleh menyatakan kesesatan seseorang itu apabila telah zahir kesesatannya? Jika begitu, tarikh balik sahaja pertuduhan kita terhadap Haji Kahar (Rasul Melayu). Fahaman dan aliran pemikiran yang “sesat” dan “Wahabi” itu telah lama dijelaskan dan dihadirkan dalil-dalil serta bukti bagi menyokong pertuduhan tersebut; hanya sahaja, mungkin segelintir pihak tidak mahu menerima hujah dan dalil-dalil yang dikemukakan.
Dr. Fauzi Deraman kemudiannya menekankan bahawa daripada segi sumber, tidak ada perselisihan kerana kita semua mengakui bahawa kita hanya ada dua sumber (dalam hal ‘aqidah, syariat mahupun akhlak) yakni Allah dan Rasul. Dr. Fauzi menyatakan bahawa kita tidak ada sumber-sumber yang lain selain daripada Allah dan Rasul. Hal tersebut sememangnya benar, bahawa tidak ada sumber yang lebih utama dalam agama selain daripada Allah dan Rasul. Namun, mungkin perlu dijelaskan lagi bahawa di dalam usul fiqh, melalui peruntukan di dalam nas-nas Al-Qur’an dan Al-Hadith, Ijma’ ‘Ulama juga diterima sebagai sumber – selepas Al-Qur’an dan Al-Hadith. Kegagalan mengiktiraf ijma’ ‘ulama sebagai sumber akan menyebabkan seseorang itu terjerumus ke dalam lembah kebiadaban ilmu. Memang benar sumber utama dalam Islam hanya dua, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadith. Tetapi, siapakah yang akan menyampaikan kita kepada kefahaman yang benar tentang keduanya? Oleh sebab itulah, setelah Rasulullah berpesan para peringkat awalnya agar umat baginda berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadith, maka Rasulullah berpesan pula kepada kita menjelang penghujung kehidupan baginda di dunia ini supaya kita berpegang kepada sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidiin dan sunnah Ahlul Bait. Hal ini demikian kerana mereka adalah kelompok yang paling ‘arif tentang Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Oleh sebab itulah, setelah berlalunya zaman Rasulullah, para sahabat merujuk kepada orang yang paling hampir dengan Rasulullah dalam usaha untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para tabi’in merujuk kepada para sahabat dalam usaha untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para tabi’ tabi’in pula merujuk kepada para tabi’in dalam usaha yang sama. Dan begitulah seterusnya berlaku, sehingga kita pada hari ini merujuk kepada para ‘ulama, guru-guru kita, masyayikh kita yang mursyid dan murabbi, dalam usaha kita untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah dikatakan adab! Bukannya dengan cara menolak pandangan para ‘ulama tradisi dan kemudian menelaah sendiri Al-Qur’an dan Al-Hadith – kerana siapa kita untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadith? Kita hidup dalam zaman yang penuh dengan dosa dan maksiat, mana mungkin Allah mengurniakan kepada kita ‘ilmu dan kefahaman yang sama sepertimana yang dikurniakan kepada generasi terdahulu – kerana kita tidak layak!
Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady kemudiannya merumuskan perbincangan pada sesi rakaman Al-Kuliyyah itu dengan menasihatkan semua agar kembali kepada kerangka Ahli Sunnah wal Jamaah – aliran arus perdana yang dijamin kebenarannya oleh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Baginda Rasulullah telah menjamin untuk kita bahawa kerangka kebenaran (al-Haq) itu akan sentiasa ada di dalam agama ini, justeru itulah dia aliran arus perdana yang dibawa dan didokong oleh para ‘ulama secara berantaian daripada dahulu sehingga kini. Oleh sebab itulah di sisi pada ‘ulama, salah satu tradisi penting yang perlu dikekalkan bagi memastikan keberkatan dan kesahihan ilmu adalah tradisi pengajian secara bersanad. Kita haruslah mempunyai rantaian ilmu dengan guru kita, guru kepada guru kita, guru kepada guru kepada guru kita, dan begitulah seterusnya sehingga sampai kepada Al-Mu’allim Sayyiduna Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.
Selesai sahaja sesi rakaman itu sesi soal jawab dibuka kepada penonton yang hadir. Ada beberapa soalan dilontarkan kepada ketiga-tiga panel. Pada sesi ini semakin terzahir kebiadaban beberapa orang ahli panel dan para penonton yang menyokong mereka. Dalam usaha untuk menjustifikasikan betapa perlunya usaha ‘tajdid’ yang sedang dia lakukan, dalam erti kata memecahkan pegangan kepada mazhab syafi’e dan menjadi ‘lebih terbuka’, Dr. MAZA mengambil beberapa contoh kelemahan pandangan di dalam mazhab syafi’e sambil menyatakan bagaimana sikap Imam Syafi’e sendiri serta sikap ‘ulama terdahulu yang begitu terbuka. Dr. MAZA memperli sikap ‘golongan agamawan’ serta ‘pihak berkuasa agama’, khususnya kerana sikap tertutup mereka dan kerana tindakan yang dikenakan ke atasnya oleh JAIS. Bukankah seharusnya sudah jelas, begitu ramai orang yang menentangnya bukanlah kerana dengki dan bukanlah kerana semata-mata tidak suka kepada perbezaan pandangan; tetapi, kerana aliran pemikiran yang dibawa oleh Dr. MAZA adalah berbahaya kepada kesejahteraan umat Islam di negara ini. Sikap Dr. MAZA yang memperlekeh ‘golongan agama’, mencabar ‘autoriti agama’ secara terbuka begitu, sambil disambut dengan tepukan tangan oleh sebilangan penonton, ternyata menampakkan keangkuhan dan ketiadaan adab. Apatah lagi apabila disambung pula oleh Dr. Fauzi Deraman yang mengikut rentak Dr. MAZA. Dr. Fauzi memperlekeh-lekeh pandangan dalam mazhab syafi’e (dalam kes ini berkaitan haji) yang katanya menyusahkan, sambil disambut dengan senyum dan gelak ketawa Dr. MAZA dan sebilangan para penonton. Kami hanya mampu terdiam melihat.
Namun, ternyata jika Allah ingin menzahirkan kebenaran maka tidak ada apa yang akan dapat menghalangnya. Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady menutup dengan suatu teguran yang langsung kepada para panelis dan penonton. Bergenang air mata tatkala Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady menyatakan kesayuan beliau melihat orang ramai bergelak-ketawa tatkala kisah para ‘ulama diceritakan dan pandangan mereka dilekeh-lekehkan. Begitu sayu beliau melihat orang ramai – termasuk para panelis – menganggap lekeh apa yang dibincangkan, sehingga boleh dijadikan bahan gelak ketawa. Ke mana perginya adab? Sungguh, persoalan adab ini adalah persoalan yang sangat penting. Ramai oleh boleh bercakap tentang adab, tetapi tidak semua orang benar-benar boleh menjadi orang yang beradab. Sekadar mengulangi pesanan Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, bahawa ikutilah dan taatlah kepada aliran arus perdana Ahli Sunnah wal Jamaah. Taatlah kepada imam-imam Ahli Sunnah wal Jamaah. Bersikaplah dengan sikap yang betul; bercakaplah dengan bahasa dan ayat yang betul. Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan bahawa sesiapa yang tidak beradab dengan Rasulullah – cukup sekadar meninggikan suara lebih tinggi daripada suara Rasulullah – maka akan terhapus segala pahala amalannya. Nah, para ‘ulama itu pewaris Rasulullah, mengapakah kita enggan beradab dengan mereka? Memang benar mereka bukan maksum, bukan sempurna, tetapi sedarlah bahawa kita semua jauh lagi tidak sempurna daripada mereka!
Semoga Allah mengurniakan Rahmat kepada seluruh para pejuang Ahli Sunnah wal Jamaah; dan semoga Allah membuka pintu hati golongan berilmu yang sombong, serta para pengikut aliran pemikiran mereka.
Mohon maaf atas salah dan silap. Sekadar luahan rasa hasil ilham daripada Allah dan berkat sentuhan guru kita Syeikh Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki. Saya hanyalah seorang insan yang sangat hina yang sedang berusaha menggapai cinta-Nya, dan cinta Baginda sallallahu ‘alayhi wasallam.
Wallahu’alam.
SEKITAR RAKAMAN AL-kULLIYYAH: ANTARA ADAB DAN BIADAP
Oleh: Akhienaim
Malam tadi (19 November 2009), saya mengikuti sesi rakaman rancangan Al-Kuliyyah (TV3) di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Sesi kali ini agak menarik, dengan tajuk “1 Akidah” rancangan kali ini menampilkan Al-Fadhil Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin dan Dr. Fauzi Deraman. Perbincangan yang bertajuk “1 Akidah” ternyata banyak berkisar sekitar persoalan tentang adab, tentang perbezaan pendapat. Itupun, tidak sepenuhnya perbincangan itu bersifat ilmiah. Apa yang pasti, Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin dan Dr. Fauzi Deraman mengecewakan. Sikap dan kata-kata mereka ternyata menggambarkan suatu kebiadaban; apa yang diistilahkan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady sebagai fenomena “kebiadaban intelektual”.
Perbezaan pendapat adalah suatu lumrah yang tidak mungkin boleh dielakkan. Justeru, menurut Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, dalam ajaran Islam telahpun disiapkan panduan dan pedoman untuk menangani perbezaan pendapat tersebut. Sepertimana yang telah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kitab suci Al-Qur’an, kita hendaklah mengikuti jalan orang-orang yang beriman (sabiilil-mu’minin); yakni, kita hendaklah patuh kepada ijma’ ‘ulama – kesepakatan majoriti ‘ulama. Beliau menghuraikan, ini maksudnya kita hendaklah taat kepada ajaran Islam arus perdana. Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady memetik di dalam kitab Fathul Bari yang menyatakan bahawa imam-imam yang muktabar di dalam Ahli Sunnah wal Jamaah adalah perlu ditaati sama ada dari segi aqidah, syariat mahupun akhlak. Jika adapun perbezaan pendapat, maka hal itu haruslah ditangani secara cermat dan dengan penuh adab.
Apa yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady tersebut ternyata merupakan satu panduan yang penting kerana apa yang sedang berlaku di dalam negara ini pada hari ini adalah sikap segelintir “kaum muda” (Salafi, Wahabi, gerakan Tajdid, atau apa sahaja namanya) yang cuba melawan ‘arus perdana’. Amalan dan pegangan umat Islam di negara ini, yang merupakan amalan dan pegangan arus perdana yang telah disusun hasil kesepakatan para ‘ulama, cuba dicabar tanpa kita memahami apakah maksud sebenar di sebaliknya. Kelihatannya, hanyalah kerana mereka itu inginkan publisiti dan ingin menjadi jaguh yang dikenali di dalam masyarakat. Apakah ada keperluan amalan membaca doa qunut yang telah lama diamalkan oleh masyarakat negara ini dilawan? Apakah ada keperluan amalan membuat majlis tahlil arwah diharamkan? Apakah ada keperluan Selawat Syifa’ yang sangat masyhur di kalangan masyarakat negara ini dikatakan amalan yang salah? Itu semua adalah amalan yang datangnya melalui ajaran arus perdana di negara ini, yang semuanya ada dalil dan nas yang menyebabkan para ‘ulama mengajar amalan-amalan tersebut.
Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin (MAZA) kemudian menyebut tentang sikap majoriti para imam mazhab, yang menyuruh agar ditinggalkan pendapatnya apabila ada dalil yang sahih yang bercanggah dengan pendapatnya. Hal itu, menurutnya, menjadi bukti betapa para imam menghormati dalil dan nas. Dr. MAZA juga menyebut bahawa adalah penting untuk menghormati pandangan para ‘ulama muktabar; apa yang diistilahkan di dalam usul fiqh sebagai ijma’ ‘ulama. Dr. MAZA juga menyentuh tentang masalah fanatik mazhab. Sehinggakan, katanya, hanya kerana berbeza pandangan seseorang itu boleh dihukum sesat, biadap dan sebagainya.
Hal ini telahpun disanggah dengan mudahnya oleh Al-Fadhil Ustaz Yusri Mohd. melalui soalan beliau kepada Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady. Kata-kata para imam mazhab bahawa “apabila bertemu dalil yang sahih hendaklah ditinggalkan pendapatku” adalah kata-kata khusus yang ditujukan kepada para ‘ulama jua, dan bukannya kepada orang awam seperti kita semua. Kata-kata tersebut ditujukan khusus kepada para ‘ulama yang berkapasiti untuk membuat ijtihad. Mana mungkin masyarakat awam, ataupun sesiapa sahaja yang mempelajari ilmu agama tetapi tidak sampai ke tahap mujtahid, untuk membuat ijtihad sendiri apabila bertemu sahaja hadith sahih (atau yang dikatakan sahih) di dalam kitab-kitab mahupun buku-buku. Apakah ada jaminan interpretasi mereka terhadap maksud hadith itu betul? Apakah mereka faham benar konteks kegunaan hadith tersebut? Harus diingat bahawa hadith itu datangnya dengan konteks yang tertentu. Kerana itu kita banyak bertemu hadith-hadith yang kelihatannya seperti bercanggah antara satu sama lain, tetapi sebenarnya tidak kerana konteksnya berbeza. Cukup menghairankan apabila Dr. MAZA menekankan tentang perlunya kita patuh kepada ijma’ ‘ulama, tetapi dia sendiri menentang aliran arus perdana (yang merupakan hasil ijma’ ‘ulama) di negara ini; seperti contoh, dia mempertikaikan dan memperlekeh majlis maulid, memperlekeh al-Fadhil Syeikh Jaafar al-Barzanji (bacaan Maulid Barzanji – disebut ‘berzanji’ oleh orang Melayu – telah lama diamalkan di negara ini), dan sebagainya yang mana semuanya adalah perkara-perkara yang dipersetujui oleh para ‘ulama. Jika adapun pandangan berbeza, maka itu adalah perbezaan pendapat yang tidak wajar dan tidak patut dijadikan polemik di dalam masyarakat! Hormatilah apa yang telah disusun oleh para ‘ulama terdahulu untuk kesejahteraan umat Islam di negara ini!
Pensyarah di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya (APIUM), Dr. Fauzi Deraman kemudiannya menyatakan bahawa semua orang, termasuk para ‘ulama, adalah tertakluk kepada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahawa kita semua tidak dikurniakan pengetahuan melainkan sedikit. Justeru, Al-Qur’an juga mengajarkan kita agar “bertanyalah kepada ahlinya jika kamu tidak mengetahui”. Menurutnya, setiap orang ada bidang kepakaran masing-masing dan bidang tersebut harus dihormati. Tentang fenomena masa kini di mana semakin ramai orang awam yang turut melibatkan diri dalam perbincangan terbuka tentang hal-hal agama yang sebenarnya bukan bidang mereka, Dr. Fauzi Deraman menyatakan bahawa orang awam tidaklah wajar disalahkan sepenuhnya kerana orang awam mengikuti ‘mentor’ mereka. Maka, apa yang penting adalah orang awam harus dididik dan diberikan panduan yang betul. Apa yang dikatakan oleh Dr. Fauzi Deraman ternyata benar. Namun, apa yang berlaku pada hari ini adalah orang sudah tidak menghormati autoriti. Dalam hal agama sebagai contoh, semakin ramai orang sudah tidak lagi menghormati autoriti kerana terpengaruh dengan sikap segelintir orang muda yang kononnya berilmu, mungkin kerana memilik Ph.D. lalu memakai gelaran ‘Doktor’ di hadapan namanya, yang dengan sewenang-wenangnya mempersoal dan mempertikaikan pendapat para ‘ulama sedangkan mereka bukanlah orang yang layak untuk melakukan hal yang sedemikian. Ada juga di kalangan para ilmuan sombong ini yang mengatakan diri mereka, ataupun mengatakan ‘ulama ikutan mereka, sebagai pakar hadith dan memakai gelar ‘Al-Muhaddith’ sedangkan antara syarat untuk seseorang itu digelar ‘Al-Muhaddith’ adalah ia haruslah menghafal 100,000 hadith! Itu belum termasuk syarat mempunyai dan menghafal sanad hadith. Sedangkan golongan ‘ulama sombong ini menolak amalan pemberian ijazah hadith; maka mana mungkin mereka menjadi pakar hadith!
Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady memberikan satu peringatan yang ringkas tetapi penuh makna; bahawa setiap urusan itu haruslah diserahkan kepada ahlinya. Peringatan daripada Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita merujuk kepada ahlinya dan tidak memandai-mandai. Justeru, dalam soal memberikan pandangan, sepertimana yang dipraktikkan oleh para salafussoleh, hendaknya para ‘ulama itu berbincang di dalam wacana “para ‘ulama” untuk mendapatkan kesepakatan – dengan mengambil kira semua faktor – sebelum akhirnya keputusan itu disalurkan kepada orang ramai. Apa yang berlaku pada hari ini adalah kita terpengaruh dengan wacana ala pasca-modenisme, yang menganggap semua wacana adalah sama – atas nama ‘kebebasan bersuara’.
Penekanan yang diberikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady ini, walaupun ringkas, tetapi adalah sangat fundamental. Apa yang disebutkan adalah tentang hal adab. Hal ini demikian kerana tidak semua orang mempunyai kelayakan untuk membincangkan semua perkara. Perkara-perkara yang berkaitan dengan pengajian ‘aqidah, berkaitan dengan fiqh dan akhlak, yang sudah tentu akan ditemukan banyak perbezaan pendapat tentangnya, adalah perkara-perkara yang tidak wajar, tidak patut dan tidak perlu untuk dibincangkan di dalam wacana terbuka di tengah-tengah masyarakat yang rata-ratanya tidak berkeahlian dalam hal ilmu Islam. Justeru, di situlah peranan para ‘ulama untuk menyusun dan menyepakati apakah kaedah, pendekatan, amalan, dan sebagainya yang patut diketengahkan kepada masyarakat. Itulah yang dilakukan oleh para imam mazhab dan para mujtahidin. Mereka meneliti dalil dan menyusun amalan-amalan dalam agama agar mudah diikuti oleh orang awam; agar tidak perlu lagi orang awam melalui proses penelitian dalil kerana tidak semua orang berkapasiti untuk memahami dengan benar dalil Al-Qur’an dan Al-Hadith, apatah lagi untuk mencapai tahap mujtahid! Tindakan membawa wacana yang berkaitan dengan penentuan asas-asas serta amalan-amalan dalam agama ke tengah kancah masyarakat, hanyalah akan menyebabkan berlaku kecelaruan kerana masyarakat akan mula keliru, dan lebih teruk lagi sudah mula muncul di tengah-tengah masyarakat golongan muda (khususnya) yang dengan beraninya berwacana menggunakan nama-nama ‘ulama seperti Imam Syafie, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan sebagainya, sedangkan mereka hanyalah ‘berguru’ dengan Internet ataupun dengan membaca sendiri buku-buku para ‘ulama tersebut. Jika adapun guru tempat merujuk, hanyalah seorang atau dua orang guru-guru yang tidak mempunyai susur galur ilmu yang mantap. Hal ini berlaku kerana melihatkan wacana-wacana yang semakin banyak dibincangkan secara terbuka, sehingga mereka merasakan bahawa sesiapa sahaja layak untuk membincangkan persoalan agama.
Bagaimanapun, Dr. MAZA seolah-olah gagal memahami apa yang cuba disampaikan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady. Dia memetik hadith yang menyatakan bahawa Allah akan membangkitkan seorang ‘mujaddid’ (pembaharu urusan agama) pada setiap 100 tahun. Dia menyentuh tentang bagaimana urusan membaharui urusan agama ini telah dilakukan oleh semua mujaddid, biarpun ditentang hebat. Dia menyebut cabaran-cabaran yang dihadapi oleh Imam Ahmad, Imam Syafie dan sebagainya dalam menyatakan kebenaran. Saya tertanya-tanya, apakah dia mahu menyamakan dirinya dengan Imam Ahmad dan Imam Syafie? Dia menyebut contoh-contoh itu sebagai menyatakan bahawa dirinya juga perlu melakukan ‘tajdid’ (membaharui urusan agama) biarpun sukar diterima. Namun, sekali lagi, perlu diperhatikan siapakah Imam Ahmad dan siapakah Imam Syafie? Mereka adalah ornag yang diberikan pembukaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga mempunyai keluasan ilmu yang hebat. Sekiranya salah seorang daripada mereka masih hidup pada hari ini, maka tidaklah keterlaluan jika dikatakan adalah wajib bagi seluruh umat Islam di dunia ini mematuhinya sebagai rujukan utama masa kini! Siapalah Dr. MAZA jika hendak dibandingkan dengan Imam Syafie, Imam Ahmad? Juga, harus diperhatikan apakah yang diperjuangkan oleh imam-imam besar itu sama seperti apa yang diperjuangkan oleh Dr. MAZA? Imam Syafie dan Imam Ahmad berjuang untuk membetulkan ‘aqidah umat Islam (diulangi: ‘aqidah), kerana tanpa ‘aqidah yang betul boleh jatuh kufur seseorang itu. Sedangkan di negara ini kita sudah mempunyai suatu susunan amalan dan pegangan yang betul, tidak perlu lagi dipertikaikan!
Dr. MAZA kemudiannya menyatakan, sebagai membantah pandangan Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, bahawa sekiranya dia perlu berbincang dahulu sebelum menyampaikan pandangannya, maka tidak akan berlakulah “sampaikan daripadaku walaupun sepotong ayat”. Saya dan rakan-rakan di pentas penonton hanya mampu menepuk dahi dek kerana lemahnya hujah yang digunakan oleh dia. Hadith tersebut bukan untuk hal tajdid! Jika hadith tersebut adalah berkaitan dengan hal tajdid, maka mudah sangatlah proses tajdid itu dan tidak perlulah dibangkitkan seorang mujaddid kerana sesiapa sahaja boleh melakukannya! Juga, apa yang dimaksudkan oleh Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady agar diadakan perbincangan di peringkat para ‘ulama terlebih dahulu bukanlah maksudnya agar jangan dilakukan dakwah! Maksud beliau adalah supaya perkara-perkara khilaf, perkara-perkara yang berkaitan dengan dasar, dengan pendekatan dan sebagainya, dibincangkan secara ilmiah terlebih dahulu di kalangan para ‘ulama, agar para ‘ulama yang berkeahlian itu dapat memutuskan apakah dia yang paling sesuai untuk disalurkan kepada masyarakat. Hal ini demikian kerana masyarakat tidak berkeahlian untuk menentukan bagi diri mereka sendiri apakah yang patut atau tidak, apa yang benar atau tidak. Nah, bukankah di dalam wacana para ‘ulama itu masih ada peluang untuk ‘menyampaikan daripada Rasulullah walaupun sepotong ayat’. Keluarkanlah apa sahaja dalil dan nas yang diketahui di dalam wacana para ‘ulama kerana memang sifat wacana itu ilmiah. Mengapa harus dibawa kepada masyarakat? Adakah kerana ingin dikenali, ingin dilihat sebagai jaguh? Jika benar ingin manfaat dan faedah bagi masyarakat, bukankah pandangan dan usaha ijma’ ‘ulama itu lebih kukuh dan lebih baik daripada usaha beberapa kerat individu? Logik ini terlalu mudah, hanya mereka yang tertutup minda dan hatinya sahaja yang akan gagal memahaminya.
Dr. Fauzi Deraman pula menyatakan bahawa perselisihan (dalam hal dasar agama) tidak berlaku di zaman Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam, kerana ada kaitannya dengan metodologi pada zaman itu. Saya mungkin boleh bersetuju dengan kenyataan itu kerana memang ada kebenarannya. Namun, sebab utama mengapa tidak berlakunya perselisihan pada zaman tersebut adalah semata-mata kerana baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam! Baginda adalah ikutan ulung para sahabat, baginda adalah contoh, baginda adalah rujukan utama! Para sahabat patuh dan taat kepada baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam tanpa soal: ini dinamakan taqlid! Benar, dalam Islam ada kebenaran untuk taqlid, bagi orang yang tidak mampu berijtihad seperti kita semua! Jika ada yang ingin menyanggah dengan mengatakan bahawa bertaqlid dengan Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam sahaja yang boleh, maka ketahuilah bahawa Rasulullah telah mengiktiraf generasi salafussoleh, para Khulafa’ Ar-Rasyidiin dan Ahlul Bait sebagai kelompok yang harus kita ikuti dan contohi.
Namun, saya ternyata tidak bersetuju dengan kenyataan Dr. Fauzi Deraman yang menyatakan bahawa para sahabat tidaklah belajar banyak sangat tentang ‘aqidah. Kenyataan itu ternyata adalah suatu kenyataan yang sangat biadap! Para sahabat adalah mereka yang paling ‘arif tentang ‘aqidah! Kenyataan dia seolah-olah menggambarkan bahawa umat Islam yang terkemudian lebih maju dalam hal pengajian ‘aqidah! Memang benar bahawa para sahabat tidaklah mempunyai sistem pengajian yang canggih (baca: berkecamuk) sepertimana apa yang kita ada pada hari ini. Tetapi harus difahami bahawa para sahabat adalah mereka yang paling mantap ‘aqidah mereka, dan menjadi rujukan kita semua sehingga ke hari ini! Para sahabat adalah contoh kita dalam hal ‘aqidah. Bukankah dalam pembelajaran ‘aqidah pada hari ini pun kita memetik contoh-contoh daripada kisah sahabat? Penyusunan sistem bagi kita mempelajari dan memahami ‘aqidah yang benar seperti yang dilakukan oleh Al-Imam Abu Hassan Al-Asy’ari adalah juga bersumberkan kepada para sahabat, yang sudah tentunya datangnya pula daripada Sayyiduna Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Jika dikatakan para sahabat tidak banyak belajar ‘aqidah, adalah tidak benar sama sekali kerana para sahabat berada bersama Rasulullah, dan mereka mempelajari keseluruhan isi kandungan kitab suci Al-Qur’an secara langsung daripada baginda Rasulullah! Mereka mempelajari ‘aqidah daripada dua sumber utamanya: Al-Qur’an dan Rasulullah! Mana mungkin mereka tidak banyak belajar ‘aqidah!
Justeru itulah Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady mengingatkan semua tentang niat. Menurut beliau, niat itu adalah penting kerana setiap amalan itu nilaiannya bergantung kepada niat. Niat yang tidak betul akan merosakkan amalan; sepertimana solat menjadi rosak, sedekah menjadi sia-sia jika niatnya adalah untuk membangga dan menonjolkan diri. Hal ini, menurut Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, adalah sesuatu perkara yang sangat asas dan sangat penting tetapi ramai orang terlupa, termasuk sesetengah orang yang berilmu. Dalam melakukan pembaikan, teguran dan sebagainya kita haruslah ikhlas kerana mencari redha Allah Subhanahu wa ta’ala. Justeru, apa yang penting adalah kita menghormati orang lain, kita menghormati ‘ulil amri’. Jika ingin melakukan teguran, hendaklah dilakukan dengan cara baik dan cara berhikmah, bukannya dengan cara terus memaparkan kritikan itu di dada akhbar sehingga boleh mengakibatkan malu dan keresahan. Inilah adab namanya! Hal ini demikian kerana, jika benar kita ikhlas ingin menegur dan membuat pembaharuan maka sudah tentu boleh sahaja teguran itu disalurkan terus kepada pihak berwajib – kepada para pemerintah, kepada para ‘ulama – tanpa perlu melalui media massa. Kerana yang diinginkan adalah menyampaikan teguran dengan cara baik, bukan mencari populariti!
Mungkin disebabkan terasa dengan teguran ‘pedas’ Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, Dr. MAZA naik suara sedikit. Dia menyatakan bahawa adalah tidak patut jika seseorang itu berbeza pendapat dengan orang lain, maka orang lain itu terus dituduh sebagai sesat, Wahabi dan sebagainya. Saya bersetuju dengan pandangan Dr. MAZA. Namun, ternyata di situ tersisip suatu keangkuhan dan cubaan untuk memutarbelitkan apa yang sebenarnya berlaku di negara ini. Harus difahami bahawa pertuduhan “sesat”, “Wahabi” dan sebagainya yang dilontarkan kepada individu-individu tertentu bukanlah dibuat secara semberono! Ya, mungkin sahaja ada di kalangan masyarakat awam di negara ini yang agak ‘emosional’ dan dengan mudahnya melabel orang dengan label yang pelbagai. Namun, di peringkat para ‘ulama dan intelektual, menghukum seseorang itu sebagai “sesat”, atau sebagai berfahaman “Wahabi” adalah sesuatu yang dibuat secara ilmiah. Apabila telah jelas dan telah zahir seseorang itu sesat, apakah mungkin kita mendiamkan diri dan tidak menyatakannya? Apakah hanya kerana semata-mata ingin meraikan ‘perbezaan pandangan’, maka kita tidak boleh menyatakan kesesatan seseorang itu apabila telah zahir kesesatannya? Jika begitu, tarikh balik sahaja pertuduhan kita terhadap Haji Kahar (Rasul Melayu). Fahaman dan aliran pemikiran yang “sesat” dan “Wahabi” itu telah lama dijelaskan dan dihadirkan dalil-dalil serta bukti bagi menyokong pertuduhan tersebut; hanya sahaja, mungkin segelintir pihak tidak mahu menerima hujah dan dalil-dalil yang dikemukakan.
Dr. Fauzi Deraman kemudiannya menekankan bahawa daripada segi sumber, tidak ada perselisihan kerana kita semua mengakui bahawa kita hanya ada dua sumber (dalam hal ‘aqidah, syariat mahupun akhlak) yakni Allah dan Rasul. Dr. Fauzi menyatakan bahawa kita tidak ada sumber-sumber yang lain selain daripada Allah dan Rasul. Hal tersebut sememangnya benar, bahawa tidak ada sumber yang lebih utama dalam agama selain daripada Allah dan Rasul. Namun, mungkin perlu dijelaskan lagi bahawa di dalam usul fiqh, melalui peruntukan di dalam nas-nas Al-Qur’an dan Al-Hadith, Ijma’ ‘Ulama juga diterima sebagai sumber – selepas Al-Qur’an dan Al-Hadith. Kegagalan mengiktiraf ijma’ ‘ulama sebagai sumber akan menyebabkan seseorang itu terjerumus ke dalam lembah kebiadaban ilmu. Memang benar sumber utama dalam Islam hanya dua, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadith. Tetapi, siapakah yang akan menyampaikan kita kepada kefahaman yang benar tentang keduanya? Oleh sebab itulah, setelah Rasulullah berpesan para peringkat awalnya agar umat baginda berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Hadith, maka Rasulullah berpesan pula kepada kita menjelang penghujung kehidupan baginda di dunia ini supaya kita berpegang kepada sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidiin dan sunnah Ahlul Bait. Hal ini demikian kerana mereka adalah kelompok yang paling ‘arif tentang Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Oleh sebab itulah, setelah berlalunya zaman Rasulullah, para sahabat merujuk kepada orang yang paling hampir dengan Rasulullah dalam usaha untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para tabi’in merujuk kepada para sahabat dalam usaha untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para tabi’ tabi’in pula merujuk kepada para tabi’in dalam usaha yang sama. Dan begitulah seterusnya berlaku, sehingga kita pada hari ini merujuk kepada para ‘ulama, guru-guru kita, masyayikh kita yang mursyid dan murabbi, dalam usaha kita untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah dikatakan adab! Bukannya dengan cara menolak pandangan para ‘ulama tradisi dan kemudian menelaah sendiri Al-Qur’an dan Al-Hadith – kerana siapa kita untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadith? Kita hidup dalam zaman yang penuh dengan dosa dan maksiat, mana mungkin Allah mengurniakan kepada kita ‘ilmu dan kefahaman yang sama sepertimana yang dikurniakan kepada generasi terdahulu – kerana kita tidak layak!
Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady kemudiannya merumuskan perbincangan pada sesi rakaman Al-Kuliyyah itu dengan menasihatkan semua agar kembali kepada kerangka Ahli Sunnah wal Jamaah – aliran arus perdana yang dijamin kebenarannya oleh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Baginda Rasulullah telah menjamin untuk kita bahawa kerangka kebenaran (al-Haq) itu akan sentiasa ada di dalam agama ini, justeru itulah dia aliran arus perdana yang dibawa dan didokong oleh para ‘ulama secara berantaian daripada dahulu sehingga kini. Oleh sebab itulah di sisi pada ‘ulama, salah satu tradisi penting yang perlu dikekalkan bagi memastikan keberkatan dan kesahihan ilmu adalah tradisi pengajian secara bersanad. Kita haruslah mempunyai rantaian ilmu dengan guru kita, guru kepada guru kita, guru kepada guru kepada guru kita, dan begitulah seterusnya sehingga sampai kepada Al-Mu’allim Sayyiduna Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.
Selesai sahaja sesi rakaman itu sesi soal jawab dibuka kepada penonton yang hadir. Ada beberapa soalan dilontarkan kepada ketiga-tiga panel. Pada sesi ini semakin terzahir kebiadaban beberapa orang ahli panel dan para penonton yang menyokong mereka. Dalam usaha untuk menjustifikasikan betapa perlunya usaha ‘tajdid’ yang sedang dia lakukan, dalam erti kata memecahkan pegangan kepada mazhab syafi’e dan menjadi ‘lebih terbuka’, Dr. MAZA mengambil beberapa contoh kelemahan pandangan di dalam mazhab syafi’e sambil menyatakan bagaimana sikap Imam Syafi’e sendiri serta sikap ‘ulama terdahulu yang begitu terbuka. Dr. MAZA memperli sikap ‘golongan agamawan’ serta ‘pihak berkuasa agama’, khususnya kerana sikap tertutup mereka dan kerana tindakan yang dikenakan ke atasnya oleh JAIS. Bukankah seharusnya sudah jelas, begitu ramai orang yang menentangnya bukanlah kerana dengki dan bukanlah kerana semata-mata tidak suka kepada perbezaan pandangan; tetapi, kerana aliran pemikiran yang dibawa oleh Dr. MAZA adalah berbahaya kepada kesejahteraan umat Islam di negara ini. Sikap Dr. MAZA yang memperlekeh ‘golongan agama’, mencabar ‘autoriti agama’ secara terbuka begitu, sambil disambut dengan tepukan tangan oleh sebilangan penonton, ternyata menampakkan keangkuhan dan ketiadaan adab. Apatah lagi apabila disambung pula oleh Dr. Fauzi Deraman yang mengikut rentak Dr. MAZA. Dr. Fauzi memperlekeh-lekeh pandangan dalam mazhab syafi’e (dalam kes ini berkaitan haji) yang katanya menyusahkan, sambil disambut dengan senyum dan gelak ketawa Dr. MAZA dan sebilangan para penonton. Kami hanya mampu terdiam melihat.
Namun, ternyata jika Allah ingin menzahirkan kebenaran maka tidak ada apa yang akan dapat menghalangnya. Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady menutup dengan suatu teguran yang langsung kepada para panelis dan penonton. Bergenang air mata tatkala Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady menyatakan kesayuan beliau melihat orang ramai bergelak-ketawa tatkala kisah para ‘ulama diceritakan dan pandangan mereka dilekeh-lekehkan. Begitu sayu beliau melihat orang ramai – termasuk para panelis – menganggap lekeh apa yang dibincangkan, sehingga boleh dijadikan bahan gelak ketawa. Ke mana perginya adab? Sungguh, persoalan adab ini adalah persoalan yang sangat penting. Ramai oleh boleh bercakap tentang adab, tetapi tidak semua orang benar-benar boleh menjadi orang yang beradab. Sekadar mengulangi pesanan Dr. Muhammad Uthman El-Muhammady, bahawa ikutilah dan taatlah kepada aliran arus perdana Ahli Sunnah wal Jamaah. Taatlah kepada imam-imam Ahli Sunnah wal Jamaah. Bersikaplah dengan sikap yang betul; bercakaplah dengan bahasa dan ayat yang betul. Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan bahawa sesiapa yang tidak beradab dengan Rasulullah – cukup sekadar meninggikan suara lebih tinggi daripada suara Rasulullah – maka akan terhapus segala pahala amalannya. Nah, para ‘ulama itu pewaris Rasulullah, mengapakah kita enggan beradab dengan mereka? Memang benar mereka bukan maksum, bukan sempurna, tetapi sedarlah bahawa kita semua jauh lagi tidak sempurna daripada mereka!
Semoga Allah mengurniakan Rahmat kepada seluruh para pejuang Ahli Sunnah wal Jamaah; dan semoga Allah membuka pintu hati golongan berilmu yang sombong, serta para pengikut aliran pemikiran mereka.
Mohon maaf atas salah dan silap. Sekadar luahan rasa hasil ilham daripada Allah dan berkat sentuhan guru kita Syeikh Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki. Saya hanyalah seorang insan yang sangat hina yang sedang berusaha menggapai cinta-Nya, dan cinta Baginda sallallahu ‘alayhi wasallam.
Wallahu’alam.
Wednesday, 9 September 2009
KOMEN TERHADAP ARTIKEL ‘ISLAM: ANTARA NAS DAN PENDAPAT TOKOH’
Oleh: Dr Asmadi Mohamed Naim
Saya membaca tulisan Dr Asri bertajuk: Islam: Antara Nas Dan Pendapat Tokoh. Pada saya Dr. Asri mengulas perbahasan kitab-kitab ulama tanpa mengetahui susur galur dan sebab musabab kenapa perbahasan sedemikian muncul. Ini dikeranakan latarbelakangnya pengajian ijazah pertama Bahasa Arab Jordan yang tiada subjek Syariah kecuali terlalu sedikit kerana ia hanya minor (seumpama pelajar sastera Melayu di Malaysia, tidak seperti Kuliah Bahasa Arab di al-Azhar), kemudiannya dia terus terjun dalam pengajian hadith di peringkat Masters (secara penyelidikian dan bukan berguru) dan hanya PhDnya sahaja ada 8 kursus yang perlu dilalui secara berguru. Hubungannya dengan ulama-ulama adalah terlalu sedikit berbanding pembacaan.
Untuk mengkritik kitab-kitab turath, dia memilih satu huraian kitab yang ditulis oleh ulama yang tidak terkenal di kalangan ulama mutaakhirin. Dia tahu dia tidak akan berjumpa perkara sedemikian dalam kitab mutaqaddimun mazhab. Dia tahu, dia sukar untuk mengkritik syarahan Imam al-Shafie, al-Mawardi, al-Nawawi dalam aliran mazhab Shafie. Demikian sukar juga dikutuk pandangan Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar dalam mazhab Hanafi. Sukar juga dikatakan tidak logik pada pandangan pemuka mazhab Malik seperti Ibn Rusyd al-Jad dan Ibn Rusyd al-Hafid dan al-Dasuqi sebagaimana sukar mempertikai Ibn al-Qudamah, al-Maqdisi dalam mazhab Hanbali.
Sesiapa yang mempelajari 'madkhal al-fiqh' (Pengantar al-Fiqh) sepatutnya menyedari adanya budaya 'araaitiyyun' (kalau sekiranya... araaita) di kalangan ulama untuk membahaskan kemungkinan-kemungkinan berlakunya sesuatu peristiwa. Sekira sangkaan baik ada pada pelajar, ia akan merasakan bagaimana hebatnya seseorang imam itu berusaha mengembangkan perbahasan dalam sesuatu perkara. Itu ijtihad mereka dan sumbangan mereka. Kebiasaan guru-guru Shariah menerimanya sebagai satu usaha ulama-ulama silam memperhalusi setiap perbahasan dan bersangka baik dengan ulama-ulama ini.
Tugas pelajar-pelajar Shari'ah kemudiannya menyaring dan memahami perbahasan tersebut untuk disampaikan kepada masyarakat awam. Bahkan daripada contoh-contoh yang diberi, akan terbentuk kaedah mengeluarkan hukum di kalangan pelajar Shari'ah. Bukan semua orang layak menjadi mujtahid.
Sekali lagi 'isu kecil' berus gigi diperbesarkan utk menunjukkan dan membuktikan kebodohan dan ketidaklogikan ulama silam. Bukankah ada pandangan ulama silam yang tetap membenarkan bersugi selepas zohor?
Pada saya, ulasan negatif terhadap ulama-ulama tersebut menunjukkan 'tidak cermatnya orang yang memperkecilkan ulama-ulama silam tersebut. Kalau dia melalui pengajian rasmi Shari'ah di University of Jordan yang saya sama universiti dengannya (dan hampir sama tahun pengajian), dia akan berjumpa dengan ramai pensyarah-pensyarah yang menyindir pelajar-pelajar supaya menjaga adab dengan ulama. Bahkan ada yang menyebut: 'Hum rijal wa nahnu zukur' iaitu 'mereka lelaki (yang sebenar) dan kita lelaki (biasa)' sebagai sindiran kepada mereka yang merasakan setaraf atau lebih hebat dari ulama-ulama silam tersebut walaupun baru setahun dua di Kuliah Shari'ah. Bahkan pengajian saya dengan tokoh-tokoh Salafi Jordan seperti Prof. Dr Umar al-'Ashqar (yang digelar Salafi Tulen Jordan), Prof. Yasir al-Shimali dan lain-lain menunjukkan bagaimana mereka menghormati pandangan Imam-Imam mazhab tersebut dan anak-anak muridnya. Tidak pernah keluar dari mulut Prof. Umar perkataan 'banyak contoh-contoh bodoh atau tidak logik yang dibentangkan oleh ulama Fiqh!'
Demikian juga, malang bagi Dr. Asri apabila semua 'busuk' yang dia lihat pada ulama silam. Takut-takut 'bahtera perubahan' menjadi 'bahtera fitnah'... Pada saya ini sudah menjadi 'keterlanjuran dan fitnah melampau' Dr Asri terhadap ulama! Yang di sebaliknya (seolah-olah) dia menyeru: 'Jangan ikut ulama, tapi ikutlah aku kerana akulah yang paling logik dan akulah paling benar'.
Manakala ulasannya dalam Hashiah al-Bajuri, dia tidak menyatakan mukasurat. Saya lebih cenderung dia tersilap menterjemahkan. Terjemahan asal ialah memasukkan ‘keseluruhan kemaluan’. Kalau benarpun terjemahannya, ia di bawah konsep bahasa Arab yang di sebut ‘lanjutan contoh’ bukan sebagai ‘contoh utama’. Jadi, dia seharusnya lebih memahami perbahasan ulama-ulama fiqh dan seharusnya cuba bersangka baik kepada ulama-ulama tersebut sebagaimana dia boleh bersangka baik kepada Albani walaupun banyak 'tanaqudhat' (pandangan yang saling berlawanan samada dalam kitab yang sama atau kitab berbeza).
Wallahu a’lam.
Allahu musta'an.
Saya membaca tulisan Dr Asri bertajuk: Islam: Antara Nas Dan Pendapat Tokoh. Pada saya Dr. Asri mengulas perbahasan kitab-kitab ulama tanpa mengetahui susur galur dan sebab musabab kenapa perbahasan sedemikian muncul. Ini dikeranakan latarbelakangnya pengajian ijazah pertama Bahasa Arab Jordan yang tiada subjek Syariah kecuali terlalu sedikit kerana ia hanya minor (seumpama pelajar sastera Melayu di Malaysia, tidak seperti Kuliah Bahasa Arab di al-Azhar), kemudiannya dia terus terjun dalam pengajian hadith di peringkat Masters (secara penyelidikian dan bukan berguru) dan hanya PhDnya sahaja ada 8 kursus yang perlu dilalui secara berguru. Hubungannya dengan ulama-ulama adalah terlalu sedikit berbanding pembacaan.
Untuk mengkritik kitab-kitab turath, dia memilih satu huraian kitab yang ditulis oleh ulama yang tidak terkenal di kalangan ulama mutaakhirin. Dia tahu dia tidak akan berjumpa perkara sedemikian dalam kitab mutaqaddimun mazhab. Dia tahu, dia sukar untuk mengkritik syarahan Imam al-Shafie, al-Mawardi, al-Nawawi dalam aliran mazhab Shafie. Demikian sukar juga dikutuk pandangan Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar dalam mazhab Hanafi. Sukar juga dikatakan tidak logik pada pandangan pemuka mazhab Malik seperti Ibn Rusyd al-Jad dan Ibn Rusyd al-Hafid dan al-Dasuqi sebagaimana sukar mempertikai Ibn al-Qudamah, al-Maqdisi dalam mazhab Hanbali.
Sesiapa yang mempelajari 'madkhal al-fiqh' (Pengantar al-Fiqh) sepatutnya menyedari adanya budaya 'araaitiyyun' (kalau sekiranya... araaita) di kalangan ulama untuk membahaskan kemungkinan-kemungkinan berlakunya sesuatu peristiwa. Sekira sangkaan baik ada pada pelajar, ia akan merasakan bagaimana hebatnya seseorang imam itu berusaha mengembangkan perbahasan dalam sesuatu perkara. Itu ijtihad mereka dan sumbangan mereka. Kebiasaan guru-guru Shariah menerimanya sebagai satu usaha ulama-ulama silam memperhalusi setiap perbahasan dan bersangka baik dengan ulama-ulama ini.
Tugas pelajar-pelajar Shari'ah kemudiannya menyaring dan memahami perbahasan tersebut untuk disampaikan kepada masyarakat awam. Bahkan daripada contoh-contoh yang diberi, akan terbentuk kaedah mengeluarkan hukum di kalangan pelajar Shari'ah. Bukan semua orang layak menjadi mujtahid.
Sekali lagi 'isu kecil' berus gigi diperbesarkan utk menunjukkan dan membuktikan kebodohan dan ketidaklogikan ulama silam. Bukankah ada pandangan ulama silam yang tetap membenarkan bersugi selepas zohor?
Pada saya, ulasan negatif terhadap ulama-ulama tersebut menunjukkan 'tidak cermatnya orang yang memperkecilkan ulama-ulama silam tersebut. Kalau dia melalui pengajian rasmi Shari'ah di University of Jordan yang saya sama universiti dengannya (dan hampir sama tahun pengajian), dia akan berjumpa dengan ramai pensyarah-pensyarah yang menyindir pelajar-pelajar supaya menjaga adab dengan ulama. Bahkan ada yang menyebut: 'Hum rijal wa nahnu zukur' iaitu 'mereka lelaki (yang sebenar) dan kita lelaki (biasa)' sebagai sindiran kepada mereka yang merasakan setaraf atau lebih hebat dari ulama-ulama silam tersebut walaupun baru setahun dua di Kuliah Shari'ah. Bahkan pengajian saya dengan tokoh-tokoh Salafi Jordan seperti Prof. Dr Umar al-'Ashqar (yang digelar Salafi Tulen Jordan), Prof. Yasir al-Shimali dan lain-lain menunjukkan bagaimana mereka menghormati pandangan Imam-Imam mazhab tersebut dan anak-anak muridnya. Tidak pernah keluar dari mulut Prof. Umar perkataan 'banyak contoh-contoh bodoh atau tidak logik yang dibentangkan oleh ulama Fiqh!'
Demikian juga, malang bagi Dr. Asri apabila semua 'busuk' yang dia lihat pada ulama silam. Takut-takut 'bahtera perubahan' menjadi 'bahtera fitnah'... Pada saya ini sudah menjadi 'keterlanjuran dan fitnah melampau' Dr Asri terhadap ulama! Yang di sebaliknya (seolah-olah) dia menyeru: 'Jangan ikut ulama, tapi ikutlah aku kerana akulah yang paling logik dan akulah paling benar'.
Manakala ulasannya dalam Hashiah al-Bajuri, dia tidak menyatakan mukasurat. Saya lebih cenderung dia tersilap menterjemahkan. Terjemahan asal ialah memasukkan ‘keseluruhan kemaluan’. Kalau benarpun terjemahannya, ia di bawah konsep bahasa Arab yang di sebut ‘lanjutan contoh’ bukan sebagai ‘contoh utama’. Jadi, dia seharusnya lebih memahami perbahasan ulama-ulama fiqh dan seharusnya cuba bersangka baik kepada ulama-ulama tersebut sebagaimana dia boleh bersangka baik kepada Albani walaupun banyak 'tanaqudhat' (pandangan yang saling berlawanan samada dalam kitab yang sama atau kitab berbeza).
Wallahu a’lam.
Allahu musta'an.
Wednesday, 12 September 2007
USAHA ILMUAN ISLAM PATUT DIHARGAI
Oleh Md Asham Ahmad
Sumber: Berita harian, 11 September 2007
MUFTI Perlis, Dr Asri Zainul Abidin, dalam kata-kata aluannya pada Seminar Kebangsaan Tokoh Hadis Pasca Kurun Ke-13 Hijrah: Kesarjanaan dan Sumbangan, memetik kata-kata Ibn Taimiyyah bahawa manusia yang paling berhak menjadi golongan yang selamat ialah ahli hadis dan sunnah, yang dapat membezakan antara hadis sahih dan cacat, memahami serta mengikutinya zahir dan batin.
Pastinya mereka yang menghadiri seminar pada 28 dan 29 Ogos lalu anjuran Bahagian Pengajian Islam Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia dengan kerjasama Jabatan Mufti Negeri Perlis pasti bersetuju dengan kata-kata itu.
Sesiapapun tidak mahu terkeluar daripada golongan yang selamat tidak kira apa nama yang diberikan kepada golongan itu. Ahli hadis dan sunnah ialah mereka yang mencintai sunnah dan memusuhi bidaah.
Mereka gemar menggelarkan diri sebagai pembela sunnah dan pengikut jalan golongan salaf. Kerap kali mereka dirujuk sebagai golongan salafi (salafiyyah) dan digolongkan sekali dengan golongan wahabi.
Tokoh yang dianggap pejuang aliran pemikiran ini ialah Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad bin Abd Wahhab dan ramai lagi.
Dari segi kepemimpinan, mereka dipimpin orang yang dianggap pakar dalam bidang ilmu hadis. Kebanyakannya mendapat pendidikan di pusat pengajian hadis di benua India, manakala di Asia Barat pusatnya ialah di Madinah.
Ahli hadis dan sunnah percaya umat Islam secara umumnya sudah lari daripada landasan sebenar syariat Islam berpunca daripada apa yang dianggap penyelewengan terhadap tafsir al-Quran dan penyebaran hadis dianggap daif (lemah) serta mauduk (palsu).
Walaupun al-Quran diakui sebagai sumber hukum tertinggi, namun tafsirnya yang sah bagi mereka tetap bersumber kepada hadis. Justeru, perjuangan utama mereka ialah memastikan status setiap hadis yang dipetik dalam sebarang disiplin ilmu adalah sahih.
Inilah agenda utama mereka dan usaha itu dianggap sebagai tajdid (pembaharuan). Usaha tajdid ialah mengandaikan bahawa berlaku kemunduran dan salah faham yang berleluasa terhadap pemikiran serta amalan umat Islam.
Ahli hadis dan sunnah melihatnya sebagai berpunca daripada penyimpangan ‘manhaj salaf’, oleh itu, usaha pembaharuan menyeluruh hendaklah dilakukan terhadap pemikiran Islam dengan membersihkannya daripada ‘unsur luar’ serta hadis diragui tarafnya.
Maka, bermulalah usaha gigih ahli hadis memeriksa dan menyelidiki kesahihan hadis yang dipetik ilmuwan silam dalam karya mereka. Pada dasarnya usaha ini adalah baik dan patut diteruskan dengan bersungguh dan sistematik.
Walau bagaimanapun, dalam keghairahan ahli hadis dan sunnah kononnya mengembalikan umat Islam kepada landasan salaf, timbul fitnah besar terhadap Turath pemikiran Islam, ilmuwan yang menghasilkannya dan disiplin ilmu yang diwakilinya.
Mutakallimun, Fuqaha’ dan Sufiyyah diserang dan diperlecehkan. Ilmu Kalam, Mazhab Fekah, dan Ilmu Tasauf ditohmah dan dituduh dengan pelbagai tuduhan, dikaitkan sebagai punca kemunduran dan perpecahan.
Nama seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, al-Jili dipandang sinis dan penuh rasa curiga. Tidak terlepas ialah ahli hadis terdahulu termasuk al-Bukhari apabila hadis dipertikaikan kesahihannya oleh pengkaji semasa.
Adakah ini suatu kemalangan yang tidak dijangka? Ataupun ia natijah kejahilan dan keangkuhan? Berdasarkan pengamatan terhadap kertas kerja dibentangkan pada seminar itu dan pengalaman yang lalu berhadapan dengan mereka yang menggelar diri ahli hadis dan sunnah, dapat disimpulkan natijah kejahilan dan keangkuhan adalah gabungan yang menghasilkan kebiadaban.
Yang pertama bersifat epistemologikal, manakala yang kedua adalah moral. Menyelidik dan mengenal pasti sumber pengambilan sesuatu hadis adalah satu perkara, manakala memberikan penilaian terhadap karya, pengarang dan disiplin ilmu berkenaan berdasarkan semata-mata kepada kriteria digariskan ahli hadis adalah perkara lain.
Kerap kali kegagalan pengkaji hadis menemui sanad yang sahih bagi sesuatu hadis menjadi alasan bukan saja bagi menolak hadis berkenaan bahkan juga bagi menimbulkan keraguan terhadap kewibawaan ilmiah orang yang memetiknya dan disiplin ilmu yang dibahaskan.
Mereka inilah yang saya sifatkan sebagai pelampau. Mereka sudah melampaui batas yang mentakrifkan kegunaan dan manfaat ilmu hadis dengan menyangka seluruh ilmu itu berasaskan kepada hadis dan manhaj ahli hadis.
Semua ini berpunca daripada kejahilan terhadap epistemologi. Adakah ‘penemuan’ hadis yang dikategorikan sebagai daif dan mauduk dalam karya besar khususnya dalam bidang tasauf sebenarnya penemuan? Atau ia patut dikategorikan sebagai hasil kerja separuh masak?
Walaupun kita tidak mengatakan ulama dulu maksum, yakni terlepas daripada kesalahan dan kesilapan, termasuk kemungkinan mereka memetik hadis daif, bahkan palsu sekalipun, tidak ada salahnya kita berbaik sangka dan merendah diri kepada mereka memandangkan jasa yang mereka taburkan selama ini.
Terdapat beberapa kemungkinan yang boleh kita pertimbangkan dalam menjelaskan perkara ini. Pertama, perbezaan kriteria dalam menentukan taraf sesuatu hadis. Apa yang sahih bagi seorang ahli hadis belum tentu menepati syarat sahih bagi yang lain. Dalam soal menentukan kebolehpercayaan (thiqah) seseorang periwayat, masih banyak yang boleh diperdebatkan.
Kedua, soal kategori hadis yang dibicarakan. Hadis yang menyentuh amalan dan hukum-hakam membabitkan kebanyakan orang biasanya memiliki rangkaian sanad lebih meluas kerana ia dimaksudkan untuk amalan masyarakat umum, manakala hadis yang menyentuh soal kerohanian yang hanya difahami segelintir orang tentulah tidak mempunyai rangkaian sanad yang meluas.
Justeru, adalah sukar jika kriteria dikenakan pada hadis, hukum juga mahu dikenakan terhadap hadis kerohanian. Kebanyakan kitab kumpulan hadis adalah disusun menurut bab fekah amali sedangkan bukan semua hadis tergolong dalam golongan ini.
Hadis yang menyentuh soal kerohanian tentulah tidak sepopular hadis hukum yang lebih meluas diketahui. Hadis yang biasa dipetik golongan sufi adalah untuk golongan tertentu dan kita boleh andaikan ia melalui sanad tertentu.
Rasulullah SAW sendiri menegaskan prinsip manusia hendaklah diseru mengenai agama berdasarkan kemampuan akal masing-masing.
Ketiga, soal kedudukan hadis berkenaan dalam keseluruhan perbincangan. Seorang ulama berwibawa tidak akan menyandarkan perkara teras dalam disiplin ilmu yang dibicarakan kepada asas diragui kebenarannya.
Justeru, jika ada hadis daif atau mauduk sekalipun yang dipetik, ia hanyalah bagi menyokong pokok persoalan, bukan sebagai dasar persoalan. Dalam kata lain, jika hadis berkenaan tidak dimasukkan sekalipun pokok persoalannya tidak sama sekali terjejas.
Keempat, berkenaan hadis mauduk, jika ada sekalipun tidak mungkin ia dipetik secara sengaja atau sedar, yakni dilakukan dengan tujuan membohongi Rasulullah SAW. Takkanlah orang seperti al-Ghazali dan Ibn Arabi sengaja menempah tempat dalam neraka?
Jika pun dapat dibuktikan apa dikatakan hadis itu sebenarnya adalah pembohongan (rekaan) yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, orang yang memetiknya mungkin tidak mengetahuinya dan perbuatannya itu tidak termasuk dalam ‘pembohongan’ disengajakan.
Kemungkinan besar hadis itu dipilih kerana maknanya yang baik dan ia tidak bersalahan dengan dasar agama. Kesilapan yang dilakukan lebih bersifat teknikal, bukannya epistemologikal ataupun moral.
Semua kemungkinan yang disebutkan ini boleh difikir dan dipertimbangkan jika kita bermula dengan sangkaan baik terhadap ilmuwan dulu. Ini sebenarnya selaras perintah Rasulullah SAW: “Bersangka baiklah terhadap orang mukmin”.
Malangnya ini tidak berlaku. Pelajar dan sarjana hingusan tanpa segan silu menyenaraikan jumlah hadis daif dan palsu yang mereka temui dalam karya agung ulama silam. Apabila menghukum Ibn Arabi, Hamzah Fansuri dan pendokong Wahdatul Wujud sebagai sesat, tidak pula mereka itu menghalusi ‘sanad’ yang mereka gunakan dalam menjatuhkan hukuman itu.
Mereka memetik dengan sewenang-wenang kenyataan dibuat terhadap orang yang dimaklumi kewibawaannya oleh orang tidak mereka ketahui kewibawaannya. Buktinya mereka tidak nyatakan sebab kenapa mereka bersetuju (lantas memetik) pendapat berkenaan.
Ataupun mereka hanya berminat meriwayatkan kata-kata dan tidak peduli benar salah kata-kata berkenaan? Mungkin juga mereka sememangnya tiada keupayaan ilmiah untuk membuat penilaian? Ataupun mereka memang sengaja mahu meruntuhkan kewibawaan yang sah dengan menyebarkan fitnah dan menimbulkan keraguan?
Semua ini hanya meyakinkan bahawa ancaman sebenar kepada pemikiran umat Islam hari ini bukannya datang daripada kaum orientalis, tetapi golongan pelampau yang meruntuhkan dasar epistemologi Islam. Mereka bukanlah ilmuwan sebenar, akan tetapi dalam masyarakat yang umumnya buta, si rabun boleh menjadi raja.
Penulis ialah Felo Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).
Sumber: Berita harian, 11 September 2007
MUFTI Perlis, Dr Asri Zainul Abidin, dalam kata-kata aluannya pada Seminar Kebangsaan Tokoh Hadis Pasca Kurun Ke-13 Hijrah: Kesarjanaan dan Sumbangan, memetik kata-kata Ibn Taimiyyah bahawa manusia yang paling berhak menjadi golongan yang selamat ialah ahli hadis dan sunnah, yang dapat membezakan antara hadis sahih dan cacat, memahami serta mengikutinya zahir dan batin.
Pastinya mereka yang menghadiri seminar pada 28 dan 29 Ogos lalu anjuran Bahagian Pengajian Islam Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia dengan kerjasama Jabatan Mufti Negeri Perlis pasti bersetuju dengan kata-kata itu.
Sesiapapun tidak mahu terkeluar daripada golongan yang selamat tidak kira apa nama yang diberikan kepada golongan itu. Ahli hadis dan sunnah ialah mereka yang mencintai sunnah dan memusuhi bidaah.
Mereka gemar menggelarkan diri sebagai pembela sunnah dan pengikut jalan golongan salaf. Kerap kali mereka dirujuk sebagai golongan salafi (salafiyyah) dan digolongkan sekali dengan golongan wahabi.
Tokoh yang dianggap pejuang aliran pemikiran ini ialah Ahmad bin Hanbal, Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad bin Abd Wahhab dan ramai lagi.
Dari segi kepemimpinan, mereka dipimpin orang yang dianggap pakar dalam bidang ilmu hadis. Kebanyakannya mendapat pendidikan di pusat pengajian hadis di benua India, manakala di Asia Barat pusatnya ialah di Madinah.
Ahli hadis dan sunnah percaya umat Islam secara umumnya sudah lari daripada landasan sebenar syariat Islam berpunca daripada apa yang dianggap penyelewengan terhadap tafsir al-Quran dan penyebaran hadis dianggap daif (lemah) serta mauduk (palsu).
Walaupun al-Quran diakui sebagai sumber hukum tertinggi, namun tafsirnya yang sah bagi mereka tetap bersumber kepada hadis. Justeru, perjuangan utama mereka ialah memastikan status setiap hadis yang dipetik dalam sebarang disiplin ilmu adalah sahih.
Inilah agenda utama mereka dan usaha itu dianggap sebagai tajdid (pembaharuan). Usaha tajdid ialah mengandaikan bahawa berlaku kemunduran dan salah faham yang berleluasa terhadap pemikiran serta amalan umat Islam.
Ahli hadis dan sunnah melihatnya sebagai berpunca daripada penyimpangan ‘manhaj salaf’, oleh itu, usaha pembaharuan menyeluruh hendaklah dilakukan terhadap pemikiran Islam dengan membersihkannya daripada ‘unsur luar’ serta hadis diragui tarafnya.
Maka, bermulalah usaha gigih ahli hadis memeriksa dan menyelidiki kesahihan hadis yang dipetik ilmuwan silam dalam karya mereka. Pada dasarnya usaha ini adalah baik dan patut diteruskan dengan bersungguh dan sistematik.
Walau bagaimanapun, dalam keghairahan ahli hadis dan sunnah kononnya mengembalikan umat Islam kepada landasan salaf, timbul fitnah besar terhadap Turath pemikiran Islam, ilmuwan yang menghasilkannya dan disiplin ilmu yang diwakilinya.
Mutakallimun, Fuqaha’ dan Sufiyyah diserang dan diperlecehkan. Ilmu Kalam, Mazhab Fekah, dan Ilmu Tasauf ditohmah dan dituduh dengan pelbagai tuduhan, dikaitkan sebagai punca kemunduran dan perpecahan.
Nama seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, al-Jili dipandang sinis dan penuh rasa curiga. Tidak terlepas ialah ahli hadis terdahulu termasuk al-Bukhari apabila hadis dipertikaikan kesahihannya oleh pengkaji semasa.
Adakah ini suatu kemalangan yang tidak dijangka? Ataupun ia natijah kejahilan dan keangkuhan? Berdasarkan pengamatan terhadap kertas kerja dibentangkan pada seminar itu dan pengalaman yang lalu berhadapan dengan mereka yang menggelar diri ahli hadis dan sunnah, dapat disimpulkan natijah kejahilan dan keangkuhan adalah gabungan yang menghasilkan kebiadaban.
Yang pertama bersifat epistemologikal, manakala yang kedua adalah moral. Menyelidik dan mengenal pasti sumber pengambilan sesuatu hadis adalah satu perkara, manakala memberikan penilaian terhadap karya, pengarang dan disiplin ilmu berkenaan berdasarkan semata-mata kepada kriteria digariskan ahli hadis adalah perkara lain.
Kerap kali kegagalan pengkaji hadis menemui sanad yang sahih bagi sesuatu hadis menjadi alasan bukan saja bagi menolak hadis berkenaan bahkan juga bagi menimbulkan keraguan terhadap kewibawaan ilmiah orang yang memetiknya dan disiplin ilmu yang dibahaskan.
Mereka inilah yang saya sifatkan sebagai pelampau. Mereka sudah melampaui batas yang mentakrifkan kegunaan dan manfaat ilmu hadis dengan menyangka seluruh ilmu itu berasaskan kepada hadis dan manhaj ahli hadis.
Semua ini berpunca daripada kejahilan terhadap epistemologi. Adakah ‘penemuan’ hadis yang dikategorikan sebagai daif dan mauduk dalam karya besar khususnya dalam bidang tasauf sebenarnya penemuan? Atau ia patut dikategorikan sebagai hasil kerja separuh masak?
Walaupun kita tidak mengatakan ulama dulu maksum, yakni terlepas daripada kesalahan dan kesilapan, termasuk kemungkinan mereka memetik hadis daif, bahkan palsu sekalipun, tidak ada salahnya kita berbaik sangka dan merendah diri kepada mereka memandangkan jasa yang mereka taburkan selama ini.
Terdapat beberapa kemungkinan yang boleh kita pertimbangkan dalam menjelaskan perkara ini. Pertama, perbezaan kriteria dalam menentukan taraf sesuatu hadis. Apa yang sahih bagi seorang ahli hadis belum tentu menepati syarat sahih bagi yang lain. Dalam soal menentukan kebolehpercayaan (thiqah) seseorang periwayat, masih banyak yang boleh diperdebatkan.
Kedua, soal kategori hadis yang dibicarakan. Hadis yang menyentuh amalan dan hukum-hakam membabitkan kebanyakan orang biasanya memiliki rangkaian sanad lebih meluas kerana ia dimaksudkan untuk amalan masyarakat umum, manakala hadis yang menyentuh soal kerohanian yang hanya difahami segelintir orang tentulah tidak mempunyai rangkaian sanad yang meluas.
Justeru, adalah sukar jika kriteria dikenakan pada hadis, hukum juga mahu dikenakan terhadap hadis kerohanian. Kebanyakan kitab kumpulan hadis adalah disusun menurut bab fekah amali sedangkan bukan semua hadis tergolong dalam golongan ini.
Hadis yang menyentuh soal kerohanian tentulah tidak sepopular hadis hukum yang lebih meluas diketahui. Hadis yang biasa dipetik golongan sufi adalah untuk golongan tertentu dan kita boleh andaikan ia melalui sanad tertentu.
Rasulullah SAW sendiri menegaskan prinsip manusia hendaklah diseru mengenai agama berdasarkan kemampuan akal masing-masing.
Ketiga, soal kedudukan hadis berkenaan dalam keseluruhan perbincangan. Seorang ulama berwibawa tidak akan menyandarkan perkara teras dalam disiplin ilmu yang dibicarakan kepada asas diragui kebenarannya.
Justeru, jika ada hadis daif atau mauduk sekalipun yang dipetik, ia hanyalah bagi menyokong pokok persoalan, bukan sebagai dasar persoalan. Dalam kata lain, jika hadis berkenaan tidak dimasukkan sekalipun pokok persoalannya tidak sama sekali terjejas.
Keempat, berkenaan hadis mauduk, jika ada sekalipun tidak mungkin ia dipetik secara sengaja atau sedar, yakni dilakukan dengan tujuan membohongi Rasulullah SAW. Takkanlah orang seperti al-Ghazali dan Ibn Arabi sengaja menempah tempat dalam neraka?
Jika pun dapat dibuktikan apa dikatakan hadis itu sebenarnya adalah pembohongan (rekaan) yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, orang yang memetiknya mungkin tidak mengetahuinya dan perbuatannya itu tidak termasuk dalam ‘pembohongan’ disengajakan.
Kemungkinan besar hadis itu dipilih kerana maknanya yang baik dan ia tidak bersalahan dengan dasar agama. Kesilapan yang dilakukan lebih bersifat teknikal, bukannya epistemologikal ataupun moral.
Semua kemungkinan yang disebutkan ini boleh difikir dan dipertimbangkan jika kita bermula dengan sangkaan baik terhadap ilmuwan dulu. Ini sebenarnya selaras perintah Rasulullah SAW: “Bersangka baiklah terhadap orang mukmin”.
Malangnya ini tidak berlaku. Pelajar dan sarjana hingusan tanpa segan silu menyenaraikan jumlah hadis daif dan palsu yang mereka temui dalam karya agung ulama silam. Apabila menghukum Ibn Arabi, Hamzah Fansuri dan pendokong Wahdatul Wujud sebagai sesat, tidak pula mereka itu menghalusi ‘sanad’ yang mereka gunakan dalam menjatuhkan hukuman itu.
Mereka memetik dengan sewenang-wenang kenyataan dibuat terhadap orang yang dimaklumi kewibawaannya oleh orang tidak mereka ketahui kewibawaannya. Buktinya mereka tidak nyatakan sebab kenapa mereka bersetuju (lantas memetik) pendapat berkenaan.
Ataupun mereka hanya berminat meriwayatkan kata-kata dan tidak peduli benar salah kata-kata berkenaan? Mungkin juga mereka sememangnya tiada keupayaan ilmiah untuk membuat penilaian? Ataupun mereka memang sengaja mahu meruntuhkan kewibawaan yang sah dengan menyebarkan fitnah dan menimbulkan keraguan?
Semua ini hanya meyakinkan bahawa ancaman sebenar kepada pemikiran umat Islam hari ini bukannya datang daripada kaum orientalis, tetapi golongan pelampau yang meruntuhkan dasar epistemologi Islam. Mereka bukanlah ilmuwan sebenar, akan tetapi dalam masyarakat yang umumnya buta, si rabun boleh menjadi raja.
Penulis ialah Felo Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).
Thursday, 15 March 2007
AGAMA URUSAN ULAMA
Oleh:
Dr Asmadi Mohamed Naim
Persoalan peranan ulama kerap diperkatakan kebelakangan ini kerana kedudukannya yang tinggi di mata masyarakat. Namun, kebelakangan ini ada ungkapan yang mempersoalkan perkara tersebut. Perkara ini juga perlu dilihat dari hidayah al-Quran dan sunnah supaya masyarakat dapat melihat kebenaran sebenar pada perkara ini.
Ungkapan seperti: ‘Perubatan moden adalah untuk semua masyarakat’ sudah diterima umum. Namun sekiranya datang Si A berkata: Walaupun saya belajar bertani, namun disebabkan perubatan untuk semua, maka saya juga layak jadi doktor dan boleh mengubat penyakit saudara walaupun saya tidak belajar perubatan. Demikian juga ungkapan: ‘Kejuruteraan moden untuk semua’. Namun datang pula Si B mengatakan: Walaupun saya belajar kedoktoran, saya juga layak menjadi jurutera dan mahu mempraktikkan bidang kejuruteraan.
Masyarakat yang mendengar kata-kata tersebut, pasti beranggapan bahawa sesiapa yang berubat dengan Si A akan menerima bahaya. Begitu juga dengan halnya Si B, masyarakat akan berpandangan bahawa walaupun dia pandai dari sudut perubatan, namun bangunan yang dibinanya belum tentu kukuh dan merbahayakan masyarakat umum.
Kalau demikian kedudukannya, Islam adalah agama untuk semua adalah ungkapan yang sememangnya diterima. Namun adalah tidak betul mengatakan urusan agama, mentafsirkan al-Quran, menghukum kesahihan hadis dan mengeluarkan hukum boleh diberi sebebas-bebasnya untuk masyarakat awam.
Sekiranya seseorang mengamalkan perubatan tanpa ilmunya yang sah, pasti merbahayakan masyarakat dan boleh membawa kematian. Demikian juga urusan agama, sekiranya ditafsirkan dan dihuraikan oleh bukan ahlinya, pasti membawa kepada penyelewengan yang membawa kehidupan sebelum mati dan sesudah mati. Kebiasaannya, mana-mana ajaran sesat datangnya dari pengaruh seseorang kepada masyarakat awam.
Benarlah Firman Allah SWT dalam Surah al-Nahl, 43 yang bermaksud: Maka hendaklah kamu bertanya kepada orang-orang yang mengetahui sekiranya kamu tidak mengetahui.
Sabda Rasulullah SAW: Sekiranya diserahkan urusan kepada orang yang tidak mengetahui tunggulah saat binasa.
Hadis tersebut dengan jelas menghuraikan kebinasaan sekiranya diserahkan urusan kepada bukan ahlinya, lebih-lebih lagi dalam urusan agama.
Pandangan Imam Shafie Rahimahullah:
Berkata Imam al-Shafie Rahimahullah (nasir al-sunnah) dalam kitabnya al-Risalah (Hal: 510) yang bermaksud: Tidaklah berijtihad (qiyas) kecuali sesiapa yang mempunyai kemampuan iaitu ilmu mengenai kitabullah samada perkara fardhunya, kesusasteraannya (balaghahnya), nasikhnya, mansukhnya, ‘amnya, khasnya dan panduannya. Dia (mujtahid) berdalilkan pada perkara-perkara yang boleh ditakwilkan dengan sunnah Rasulullah SAW. Sekiranya tidak ada, maka dengan ijma’ al-muslimin. Sekiranya tiada ijma’, maka dengan qiyas.
Kemudian Imam Syafie berkata lagi: Tidaklah boleh untuk sesiapapun berijtihad sehingga ia menjadi alim dengan sunnah-sunnah, perkataan-perkataan Salaf, persepakatan masyarakat dan perbezaan pandangan di kalangan mereka dan mahir bahasa Arab.
Imam Shafie berkata lagi: Tidaklah boleh untuknya berijtihad (qiyas) sehingga dia merupakan seorang yang berakal sehingga boleh membezakan antara yang musytabih, tidak gopoh untuk memperkatakan sesuatu sehingga ia mempastikannnya.
Tambah Imam besar itu lagi: Dia (mujtahid) tidak menolak untuk mendengar pandangan orang yang menyanggahnya kerana kemungkinan melalui mendengar tersebut dapat mengelakkan lupa dan menambah keyakinannya pada perkara yang ia yakin kebenaran.
Tegahan Imam Shafie:
Imam Shafie berkata lagi dalam kitabnya al-Risalah (Hal. 511): Manakala sesiapa yang sempurna akalnya, namun bukan seorang yang berilmu (sebagaimana diperkatakan tadi), tidak halal baginya berijtihad, kerana sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang diijtihadkannya, sebagaimana tidak dibolehkan seorang ahli fiqh memperkatakan mengenai harga dirham walhal dia tidak mempunyai pengalaman di pasar.
Dengan itu benarlah kata-kata Rasulullah: Ulama` adalah pewaris para nabi. Merekalah yang menyambung tugas-tugas masyarakat.
Kesimpulannya, urusan agama ini adalah urusan ulama. Ulama sahajalah yang dapat membezakan antara kebenaran dan kebatilan. Kebanyakan ajaran sesat dilahirkan apabila dibiarkan orang-orang awam mentafsirkan agama sewenang-wenangnya. Demikian juga aliran sesat menyesat secara taksub pada perkara khilafiyah dalam ibadah diikuti oleh masyarakat awam yang lemah asas agama.
Pada masa yang sama, masyarakat harus mengenali siapakah ulama yang sebenar. Sistem pelajaran moden, yang memisahkan ilmu-ilmu Syariah kepada al-Quran, al-Sunnah, Syariah, Dakwah dan Bahasa Arab telah melahirkan cerdik pandai Islam yang hanya pakar dalam sesuatu bidang ilmu. Seseorang mungkin dikatakan pandai hadith, tetapi tidak mempunyai kefaqihan atau tidak mahir dalam pembacaan nas-nas ulama. Demikian juga sebaliknya. Demikian juga pandai bahasa Arab sahaja tidak memboleh seseorang itu pandai mentafsir al-Quran. Kalau Bahasa Arab sahaja membolehkan seseorang mentafsirkan al-Quran, nescaya semua orang-orang Arab sudah menjadi ulama.
Sekiranyanya, lulusan agama universiti moden ini mengakui kelemahan masing-masing, akan lahir saling bergandingan untuk menegakkan kebenaran. Namun sekiranya graduan tersebut tidak menyedarinya, dan tidak mahu menghadapinya, akan lahir golongan yang disebut oleh ramai professor-profesor Syariah kepada anak-anak muridnya iaitu: Kamu memasuki universiti dalam keadaan tawaduk, namun kamu keluar dalam keadaan takabbur.
Oleh itu, masyarakat perlu menghormati peranan ulama kita samada dulu mahupun sekarang. Kita mengharapkan institusi ulama terus dihormati kerana peranan besar mereka di kalangan masyarakat.
Wallahu a’lam.
Sumber: Utusan Malaysia, 22 Disember 2006
Dr Asmadi Mohamed Naim
Persoalan peranan ulama kerap diperkatakan kebelakangan ini kerana kedudukannya yang tinggi di mata masyarakat. Namun, kebelakangan ini ada ungkapan yang mempersoalkan perkara tersebut. Perkara ini juga perlu dilihat dari hidayah al-Quran dan sunnah supaya masyarakat dapat melihat kebenaran sebenar pada perkara ini.
Ungkapan seperti: ‘Perubatan moden adalah untuk semua masyarakat’ sudah diterima umum. Namun sekiranya datang Si A berkata: Walaupun saya belajar bertani, namun disebabkan perubatan untuk semua, maka saya juga layak jadi doktor dan boleh mengubat penyakit saudara walaupun saya tidak belajar perubatan. Demikian juga ungkapan: ‘Kejuruteraan moden untuk semua’. Namun datang pula Si B mengatakan: Walaupun saya belajar kedoktoran, saya juga layak menjadi jurutera dan mahu mempraktikkan bidang kejuruteraan.
Masyarakat yang mendengar kata-kata tersebut, pasti beranggapan bahawa sesiapa yang berubat dengan Si A akan menerima bahaya. Begitu juga dengan halnya Si B, masyarakat akan berpandangan bahawa walaupun dia pandai dari sudut perubatan, namun bangunan yang dibinanya belum tentu kukuh dan merbahayakan masyarakat umum.
Kalau demikian kedudukannya, Islam adalah agama untuk semua adalah ungkapan yang sememangnya diterima. Namun adalah tidak betul mengatakan urusan agama, mentafsirkan al-Quran, menghukum kesahihan hadis dan mengeluarkan hukum boleh diberi sebebas-bebasnya untuk masyarakat awam.
Sekiranya seseorang mengamalkan perubatan tanpa ilmunya yang sah, pasti merbahayakan masyarakat dan boleh membawa kematian. Demikian juga urusan agama, sekiranya ditafsirkan dan dihuraikan oleh bukan ahlinya, pasti membawa kepada penyelewengan yang membawa kehidupan sebelum mati dan sesudah mati. Kebiasaannya, mana-mana ajaran sesat datangnya dari pengaruh seseorang kepada masyarakat awam.
Benarlah Firman Allah SWT dalam Surah al-Nahl, 43 yang bermaksud: Maka hendaklah kamu bertanya kepada orang-orang yang mengetahui sekiranya kamu tidak mengetahui.
Sabda Rasulullah SAW: Sekiranya diserahkan urusan kepada orang yang tidak mengetahui tunggulah saat binasa.
Hadis tersebut dengan jelas menghuraikan kebinasaan sekiranya diserahkan urusan kepada bukan ahlinya, lebih-lebih lagi dalam urusan agama.
Pandangan Imam Shafie Rahimahullah:
Berkata Imam al-Shafie Rahimahullah (nasir al-sunnah) dalam kitabnya al-Risalah (Hal: 510) yang bermaksud: Tidaklah berijtihad (qiyas) kecuali sesiapa yang mempunyai kemampuan iaitu ilmu mengenai kitabullah samada perkara fardhunya, kesusasteraannya (balaghahnya), nasikhnya, mansukhnya, ‘amnya, khasnya dan panduannya. Dia (mujtahid) berdalilkan pada perkara-perkara yang boleh ditakwilkan dengan sunnah Rasulullah SAW. Sekiranya tidak ada, maka dengan ijma’ al-muslimin. Sekiranya tiada ijma’, maka dengan qiyas.
Kemudian Imam Syafie berkata lagi: Tidaklah boleh untuk sesiapapun berijtihad sehingga ia menjadi alim dengan sunnah-sunnah, perkataan-perkataan Salaf, persepakatan masyarakat dan perbezaan pandangan di kalangan mereka dan mahir bahasa Arab.
Imam Shafie berkata lagi: Tidaklah boleh untuknya berijtihad (qiyas) sehingga dia merupakan seorang yang berakal sehingga boleh membezakan antara yang musytabih, tidak gopoh untuk memperkatakan sesuatu sehingga ia mempastikannnya.
Tambah Imam besar itu lagi: Dia (mujtahid) tidak menolak untuk mendengar pandangan orang yang menyanggahnya kerana kemungkinan melalui mendengar tersebut dapat mengelakkan lupa dan menambah keyakinannya pada perkara yang ia yakin kebenaran.
Tegahan Imam Shafie:
Imam Shafie berkata lagi dalam kitabnya al-Risalah (Hal. 511): Manakala sesiapa yang sempurna akalnya, namun bukan seorang yang berilmu (sebagaimana diperkatakan tadi), tidak halal baginya berijtihad, kerana sesungguhnya dia tidak mengetahui apa yang diijtihadkannya, sebagaimana tidak dibolehkan seorang ahli fiqh memperkatakan mengenai harga dirham walhal dia tidak mempunyai pengalaman di pasar.
Dengan itu benarlah kata-kata Rasulullah: Ulama` adalah pewaris para nabi. Merekalah yang menyambung tugas-tugas masyarakat.
Kesimpulannya, urusan agama ini adalah urusan ulama. Ulama sahajalah yang dapat membezakan antara kebenaran dan kebatilan. Kebanyakan ajaran sesat dilahirkan apabila dibiarkan orang-orang awam mentafsirkan agama sewenang-wenangnya. Demikian juga aliran sesat menyesat secara taksub pada perkara khilafiyah dalam ibadah diikuti oleh masyarakat awam yang lemah asas agama.
Pada masa yang sama, masyarakat harus mengenali siapakah ulama yang sebenar. Sistem pelajaran moden, yang memisahkan ilmu-ilmu Syariah kepada al-Quran, al-Sunnah, Syariah, Dakwah dan Bahasa Arab telah melahirkan cerdik pandai Islam yang hanya pakar dalam sesuatu bidang ilmu. Seseorang mungkin dikatakan pandai hadith, tetapi tidak mempunyai kefaqihan atau tidak mahir dalam pembacaan nas-nas ulama. Demikian juga sebaliknya. Demikian juga pandai bahasa Arab sahaja tidak memboleh seseorang itu pandai mentafsir al-Quran. Kalau Bahasa Arab sahaja membolehkan seseorang mentafsirkan al-Quran, nescaya semua orang-orang Arab sudah menjadi ulama.
Sekiranyanya, lulusan agama universiti moden ini mengakui kelemahan masing-masing, akan lahir saling bergandingan untuk menegakkan kebenaran. Namun sekiranya graduan tersebut tidak menyedarinya, dan tidak mahu menghadapinya, akan lahir golongan yang disebut oleh ramai professor-profesor Syariah kepada anak-anak muridnya iaitu: Kamu memasuki universiti dalam keadaan tawaduk, namun kamu keluar dalam keadaan takabbur.
Oleh itu, masyarakat perlu menghormati peranan ulama kita samada dulu mahupun sekarang. Kita mengharapkan institusi ulama terus dihormati kerana peranan besar mereka di kalangan masyarakat.
Wallahu a’lam.
Sumber: Utusan Malaysia, 22 Disember 2006
ULAMA LEBIH BERINOVATIF
Oleh: Dr Asmadi Mohamed Naim
Mempertikaikan peranan ulama mungkin dianggap kontemporari oleh sesetengah orang. Ia berpunca daripada kejahilan terhadap peranan yang telah dimainkan oleh ulama dalam pembangunan negara. Tanggapan tersebut mungkin juga terbit dari orang yang merasakan sudah banyak menyumbang dan merasakan pihak lain tidak menyumbang. Atau mereka merasakan ulama golongan kolot dan jumud. Walhal sebahagian masyarakat atau sebahagian besar ulama dan tokoh ilmuan Islam, sebenarnya sudah terlalu banyak memberi sumbangan untuk kesejahteraan rakyat sama ada secara sedar ataupun tidak.
Ulama Islam samada lulusan sekolah pondok atau universiti-universiti, dewasa ini menyumbang dalam pelbagai bentuk mengikut kepakaran dan pengkhususan masing-masing. Bagi sesiapa yang mendekati golongan ulama dan orang-orang agama tanpa ada rasa sinis akan melihat fenomena ini.
Sebagai bukti yang mudah untuk dibuktikan, sistem kewangan dan perbankan Islam dipacu oleh sumbangan ulama dan tokoh akademik Islam. Apabila kerajaan membuka ruang terhadap perbankan Islam pada tahun 1983 dengan penubuhan bank Islam yang pertama, ulama-ulama menyahut seruan tersebut. Langkah tersebut diperderaskan lagi oleh kerajaan dengan penubuhan kaunter-kaunter perbankan Islam di bank-bank konvensional. Proses tersebut telah mendorong setiap bank menyediakan ruang untuk ulama dan tokoh-tokoh syariah memberikan sumbangan.
Ulama-ulama yang membina sistem perbankan Islam tersebut, sebahagian besarnya memulakan pendidikan di pondok-pondok dan kemudian menamatkan pengajian di universiti-universiti, banyak berjasa memulakan idea mencetuskan system perbankan Islam dari tiada. Pada waktu itu, mereka mungkin tiada Ph.D agama atau ijazah sarjana, namun mereka gigih mencetuskan inovasi melahirkan system perbankan yang baru berjalan seiring arus perbankan konvensional walaupun masyarakat memandang sinis terhadap usaha mereka.
Bank Negara Malaysia mengambil langkah yang amat proaktif apabila mensyaratkan seorang ulama atau tokoh akademik syariah hanya boleh menjadi penasihat syariah untuk satu bank sahaja. Langkah ini membawa kepada meramaikan ulama-ulama Syariah berinovasi dalam system kewangan nasional dan global. Demikian juga penubuhan Pusat Antarabangsa Untuk Pendidikan Dalam Kewangan Islam (INCEIF) memercu kelahiran lebih ramai ulama dan profesional untuk pembangunan negara. Dana Penyelidikan Syariah oleh Bank Negara sebanyak RM200 juta juga merupakan satu bidang yang diiktiraf oleh kerajaan terhadap sumbangan ulama terhadap sistem kewangan Islam, yang dahulunya dipelopori oleh ulama-ulama yang asalnya lulusan pondok yang kemudiannya menyambung pelajaran ke peringkat universiti yang rasmi.
Pada tahun 2006 sahaja, perkembangan pesat perbankan dan kewangan Islam dapat dirasai oleh masyarakat secara keseluruhannya. Penubuhan Unit Pasaran modal Islam di bawah Suruhanjaya Sekuriti (SC) pada akhir 1990an, merancakkan lagi usaha tersebut dan membawa kepada kelahiran Pasaran Modal Islam. Ia membuahkan hasil yang mendorong cita-cita kerajaan untuk menjadikan Malaysia sebagai hab kewangan Islam serantau. Pada hari ini, kemungkinan ramai golongan masyarakat awam yang sudah tidak memahami instrumen-instrumen kewangan Islam yang amat difahami oleh golongan ulama-ulama Syariah seperti Sikuk Ijarah, Sukuk Mudharabah, Nota Komersial Islam dan sebagainya.
Dalam isu sains dan teknologi, sesiapa yang meneliti sumbangan ulama secara ikhlas boleh merujuk kepada fatwa-fatwa yang sudah dibincangkan oleh ulama-ulama kita melalui laman web Jakim. Ulama-ulama sebenarnya sudah membahaskan isu-isu sains dan teknologi seperti isu bayi tabung uji, isu ibu tumpang (dalam kandungan), isu pengklonan dan isu-isu lain. Merupakan satu fitnah besar yang dilontarkan terhadap ulama apabila mengatakan ulama hanya membelek kitab-kitab kuning kerana mereka lulusan kelas ketiga pada zaman mereka.
Bukanlah suatu reformasi atau isu kontemporari, apabila mengatakan ulama tidak meneliti isu-isu baru. Ulama sebenarnya sudah berubah dan berinovatif, dan akan terus menyumbang ke arah pembangunan negara sekiranya diberi peluang.
Dalam bidang perundangan, ulama-ulama juga memberikan sumbangan yang besar apabila ruang diberikan oleh kerajaan. Nama-nama besar seperti Allahyarham Sheikh Ahmad Ibrahim, walaupun tanpa Ph.D, memberikan impak yang besar dalam perundangan Islam khususnya dalam proses Islamisasi perundangan Islam di Malaysia.
Bumi mana yang tidak ditimpa hujan, demikian juga ulama, mereka juga ada mempunyai kelemahan. Namun adakah kita mahu mempraktikkan kata pepatah: ‘Kerana nila setitik, rosak susu sebelanga’. Jangan kerana kelemahan segenlintir ulama, semua ulama menjadi korban kepada tanggapan negatif. Seharusnya kita perlu lebih cerdik dalam menangani isu ini.
Sebaliknya, lihatlah kepada inovatif ulama-ulama Islam sama ada lulusan pondok atau universiti rasmi. Lihat kepada sistem kewangan dan perbankan Islam. Lihat kepada sistem perundangan yang telah diissilamisasikan. Lihat kepada resolusi fatwa mereka dalam isu-isu sains dan teknologi contohnya bayi tabung uji, ibu tumpang, derma darah, pemindahan organ dan sebagainya.
Dalam konteks kewangan Islam, adalah suatu yang dibanggakan apabila sistem perbankan Islam mengambil lulusan-lulusan agama untuk menjadi eksekutif kewangan di institusi-institusi kewangan.
Ulama sebenarnya akan menyumbang dengan lebih hebat sekiranya mereka diberikan ruang. Dalam keadaan ruang yang sempitpun, mereka mempunyai rasa jihad untuk berjuang bagi mendidik dan menyampaikan ilmu ketengah masyarakat, apatah lagi sekiranya ruang yang luas dihamparkan kepada mereka.
Untuk mengelakkan seseorang mufti, atau ulama mengeluarkan pandangan yanag aneh atau canggung yang boleh mengelirukan masyarakat, ulama-ulama semasa lebih cenderung mengeluarkan ijtihad secara berkumpulan (ijtihad jama’i). Perkara ini pernah ditekankan oleh Sheikh Mustafa al-Zarqa dan al-Imam Abu Zahrah dalam penulisan-penulisan mereka. Apabila adanya keputusan secara berkumpulan, akan lahir saling berbincang, menolak hujah dan mendatangkan kesepakatan di akhirnya nanti. Perkara ini dilaksanakan dengan penuh tertib dan adab-adab ilmu bersesuaian dengan ahli-ahli yang menghadirinya. Kerana kesedaran itulah, lahirnya Akademi Fiqh Antarabangsa OIC, Akademik Fiqh Rabitah, Majlis Fatwa Kebangsaan, Majlis Penasihatan Syariah di Bank Negara dan Suruhanjaya sekuriti dan Majlis Penasihatan Syariah di bank-bank.
Ulama-ulama yang baik biasanya bercakap mengikut adab-adab yang tertentu. Mereka tidak memperkatakan mengenai istihsan, istishab dan masalih mursalah di depan masyarakat awam, bukan kerana mereka jahil dengan ilmu-ilmu syariah tersebut, tetapi mereka bercakap ibarat kata pepatah: ‘Bercakaplah dengan manusia mengikut kadar akal mereka’.
Sebaliknya mereka berhujah dengan menggunakan al-Quran, al-sunnah, ijma’, al-qiyas dan sebagainya di dalam perbincangan sesama ulama di samping berhujah menguatkan pandangan masing-masing kerana disitulah ruangnya. Mereka tidak mencari promosi murahan menaikkan imej diri sendiri. Kehidupan mereka merendah diri sehinggakan ada tohmahan yang mereka tidak menyumbang apa-apa walaupun secara hakikatnya, terlalu banyak sumbangan mereka. Ulama yang baik biasanya tidak mengamalkan resmi ‘menang sorak kampung tergadai’ dan mereka sukar dipertunggangkan oleh sesiapapun. Ulama-ulama ini mempunyai prinsip dalam mengeluarkan pandangan mereka sehingga kadang-kadang dianggap anti establishment, konservatif, kolot, jumud oleh orang yang gopoh menghukum mereka.
Kesimpulan dari hujah-hujah tersebut ialah ulama-ulama memberikan sumbangan yang besar kepada pembangunan negara mengikut bidang masing-masing. Sebahagian daripada mereka, memberi sumbangan merangka kewangan Islam negara, sebahagian yang lain merangka sistem perundangan yang diislamisasikan, sebahagian yang lain pula berperanan sebagai pendidik di IPTA, sekolah-sekolah mahupun pondok-pondok. Sebahagiannya pula berperanan sebagai peniaga, tentera dan sebagainya. Semoga kerajaan terus membuka ruang yang besar untuk ulama menyumbang tanpa perlu mengorbankan prinsip dan pengajian mereka. Semoga Allah SWT merahmati ulama dan menjadikan kita pengikut ulama yang soleh dan benar. Wallahu a’lam.
Penulis ialah Pensyarah Kanan, Universiti Utara Malaysia. Berkelulusan PhD dan Master (Fiqh & Usul Fiqh) dari UIA dan Sarjana Muda Syariah (Fiqh & Tasyri’) dari University of Jordan.
SUMBER: Utusan Malaysia, 12 Januari 2007
utusan.com.my/utusan/content.aspy=2007&dt=0112&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_01.htm
Mempertikaikan peranan ulama mungkin dianggap kontemporari oleh sesetengah orang. Ia berpunca daripada kejahilan terhadap peranan yang telah dimainkan oleh ulama dalam pembangunan negara. Tanggapan tersebut mungkin juga terbit dari orang yang merasakan sudah banyak menyumbang dan merasakan pihak lain tidak menyumbang. Atau mereka merasakan ulama golongan kolot dan jumud. Walhal sebahagian masyarakat atau sebahagian besar ulama dan tokoh ilmuan Islam, sebenarnya sudah terlalu banyak memberi sumbangan untuk kesejahteraan rakyat sama ada secara sedar ataupun tidak.
Ulama Islam samada lulusan sekolah pondok atau universiti-universiti, dewasa ini menyumbang dalam pelbagai bentuk mengikut kepakaran dan pengkhususan masing-masing. Bagi sesiapa yang mendekati golongan ulama dan orang-orang agama tanpa ada rasa sinis akan melihat fenomena ini.
Sebagai bukti yang mudah untuk dibuktikan, sistem kewangan dan perbankan Islam dipacu oleh sumbangan ulama dan tokoh akademik Islam. Apabila kerajaan membuka ruang terhadap perbankan Islam pada tahun 1983 dengan penubuhan bank Islam yang pertama, ulama-ulama menyahut seruan tersebut. Langkah tersebut diperderaskan lagi oleh kerajaan dengan penubuhan kaunter-kaunter perbankan Islam di bank-bank konvensional. Proses tersebut telah mendorong setiap bank menyediakan ruang untuk ulama dan tokoh-tokoh syariah memberikan sumbangan.
Ulama-ulama yang membina sistem perbankan Islam tersebut, sebahagian besarnya memulakan pendidikan di pondok-pondok dan kemudian menamatkan pengajian di universiti-universiti, banyak berjasa memulakan idea mencetuskan system perbankan Islam dari tiada. Pada waktu itu, mereka mungkin tiada Ph.D agama atau ijazah sarjana, namun mereka gigih mencetuskan inovasi melahirkan system perbankan yang baru berjalan seiring arus perbankan konvensional walaupun masyarakat memandang sinis terhadap usaha mereka.
Bank Negara Malaysia mengambil langkah yang amat proaktif apabila mensyaratkan seorang ulama atau tokoh akademik syariah hanya boleh menjadi penasihat syariah untuk satu bank sahaja. Langkah ini membawa kepada meramaikan ulama-ulama Syariah berinovasi dalam system kewangan nasional dan global. Demikian juga penubuhan Pusat Antarabangsa Untuk Pendidikan Dalam Kewangan Islam (INCEIF) memercu kelahiran lebih ramai ulama dan profesional untuk pembangunan negara. Dana Penyelidikan Syariah oleh Bank Negara sebanyak RM200 juta juga merupakan satu bidang yang diiktiraf oleh kerajaan terhadap sumbangan ulama terhadap sistem kewangan Islam, yang dahulunya dipelopori oleh ulama-ulama yang asalnya lulusan pondok yang kemudiannya menyambung pelajaran ke peringkat universiti yang rasmi.
Pada tahun 2006 sahaja, perkembangan pesat perbankan dan kewangan Islam dapat dirasai oleh masyarakat secara keseluruhannya. Penubuhan Unit Pasaran modal Islam di bawah Suruhanjaya Sekuriti (SC) pada akhir 1990an, merancakkan lagi usaha tersebut dan membawa kepada kelahiran Pasaran Modal Islam. Ia membuahkan hasil yang mendorong cita-cita kerajaan untuk menjadikan Malaysia sebagai hab kewangan Islam serantau. Pada hari ini, kemungkinan ramai golongan masyarakat awam yang sudah tidak memahami instrumen-instrumen kewangan Islam yang amat difahami oleh golongan ulama-ulama Syariah seperti Sikuk Ijarah, Sukuk Mudharabah, Nota Komersial Islam dan sebagainya.
Dalam isu sains dan teknologi, sesiapa yang meneliti sumbangan ulama secara ikhlas boleh merujuk kepada fatwa-fatwa yang sudah dibincangkan oleh ulama-ulama kita melalui laman web Jakim. Ulama-ulama sebenarnya sudah membahaskan isu-isu sains dan teknologi seperti isu bayi tabung uji, isu ibu tumpang (dalam kandungan), isu pengklonan dan isu-isu lain. Merupakan satu fitnah besar yang dilontarkan terhadap ulama apabila mengatakan ulama hanya membelek kitab-kitab kuning kerana mereka lulusan kelas ketiga pada zaman mereka.
Bukanlah suatu reformasi atau isu kontemporari, apabila mengatakan ulama tidak meneliti isu-isu baru. Ulama sebenarnya sudah berubah dan berinovatif, dan akan terus menyumbang ke arah pembangunan negara sekiranya diberi peluang.
Dalam bidang perundangan, ulama-ulama juga memberikan sumbangan yang besar apabila ruang diberikan oleh kerajaan. Nama-nama besar seperti Allahyarham Sheikh Ahmad Ibrahim, walaupun tanpa Ph.D, memberikan impak yang besar dalam perundangan Islam khususnya dalam proses Islamisasi perundangan Islam di Malaysia.
Bumi mana yang tidak ditimpa hujan, demikian juga ulama, mereka juga ada mempunyai kelemahan. Namun adakah kita mahu mempraktikkan kata pepatah: ‘Kerana nila setitik, rosak susu sebelanga’. Jangan kerana kelemahan segenlintir ulama, semua ulama menjadi korban kepada tanggapan negatif. Seharusnya kita perlu lebih cerdik dalam menangani isu ini.
Sebaliknya, lihatlah kepada inovatif ulama-ulama Islam sama ada lulusan pondok atau universiti rasmi. Lihat kepada sistem kewangan dan perbankan Islam. Lihat kepada sistem perundangan yang telah diissilamisasikan. Lihat kepada resolusi fatwa mereka dalam isu-isu sains dan teknologi contohnya bayi tabung uji, ibu tumpang, derma darah, pemindahan organ dan sebagainya.
Dalam konteks kewangan Islam, adalah suatu yang dibanggakan apabila sistem perbankan Islam mengambil lulusan-lulusan agama untuk menjadi eksekutif kewangan di institusi-institusi kewangan.
Ulama sebenarnya akan menyumbang dengan lebih hebat sekiranya mereka diberikan ruang. Dalam keadaan ruang yang sempitpun, mereka mempunyai rasa jihad untuk berjuang bagi mendidik dan menyampaikan ilmu ketengah masyarakat, apatah lagi sekiranya ruang yang luas dihamparkan kepada mereka.
Untuk mengelakkan seseorang mufti, atau ulama mengeluarkan pandangan yanag aneh atau canggung yang boleh mengelirukan masyarakat, ulama-ulama semasa lebih cenderung mengeluarkan ijtihad secara berkumpulan (ijtihad jama’i). Perkara ini pernah ditekankan oleh Sheikh Mustafa al-Zarqa dan al-Imam Abu Zahrah dalam penulisan-penulisan mereka. Apabila adanya keputusan secara berkumpulan, akan lahir saling berbincang, menolak hujah dan mendatangkan kesepakatan di akhirnya nanti. Perkara ini dilaksanakan dengan penuh tertib dan adab-adab ilmu bersesuaian dengan ahli-ahli yang menghadirinya. Kerana kesedaran itulah, lahirnya Akademi Fiqh Antarabangsa OIC, Akademik Fiqh Rabitah, Majlis Fatwa Kebangsaan, Majlis Penasihatan Syariah di Bank Negara dan Suruhanjaya sekuriti dan Majlis Penasihatan Syariah di bank-bank.
Ulama-ulama yang baik biasanya bercakap mengikut adab-adab yang tertentu. Mereka tidak memperkatakan mengenai istihsan, istishab dan masalih mursalah di depan masyarakat awam, bukan kerana mereka jahil dengan ilmu-ilmu syariah tersebut, tetapi mereka bercakap ibarat kata pepatah: ‘Bercakaplah dengan manusia mengikut kadar akal mereka’.
Sebaliknya mereka berhujah dengan menggunakan al-Quran, al-sunnah, ijma’, al-qiyas dan sebagainya di dalam perbincangan sesama ulama di samping berhujah menguatkan pandangan masing-masing kerana disitulah ruangnya. Mereka tidak mencari promosi murahan menaikkan imej diri sendiri. Kehidupan mereka merendah diri sehinggakan ada tohmahan yang mereka tidak menyumbang apa-apa walaupun secara hakikatnya, terlalu banyak sumbangan mereka. Ulama yang baik biasanya tidak mengamalkan resmi ‘menang sorak kampung tergadai’ dan mereka sukar dipertunggangkan oleh sesiapapun. Ulama-ulama ini mempunyai prinsip dalam mengeluarkan pandangan mereka sehingga kadang-kadang dianggap anti establishment, konservatif, kolot, jumud oleh orang yang gopoh menghukum mereka.
Kesimpulan dari hujah-hujah tersebut ialah ulama-ulama memberikan sumbangan yang besar kepada pembangunan negara mengikut bidang masing-masing. Sebahagian daripada mereka, memberi sumbangan merangka kewangan Islam negara, sebahagian yang lain merangka sistem perundangan yang diislamisasikan, sebahagian yang lain pula berperanan sebagai pendidik di IPTA, sekolah-sekolah mahupun pondok-pondok. Sebahagiannya pula berperanan sebagai peniaga, tentera dan sebagainya. Semoga kerajaan terus membuka ruang yang besar untuk ulama menyumbang tanpa perlu mengorbankan prinsip dan pengajian mereka. Semoga Allah SWT merahmati ulama dan menjadikan kita pengikut ulama yang soleh dan benar. Wallahu a’lam.
Penulis ialah Pensyarah Kanan, Universiti Utara Malaysia. Berkelulusan PhD dan Master (Fiqh & Usul Fiqh) dari UIA dan Sarjana Muda Syariah (Fiqh & Tasyri’) dari University of Jordan.
SUMBER: Utusan Malaysia, 12 Januari 2007
utusan.com.my/utusan/content.aspy=2007&dt=0112&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_01.htm
MEMPERTAHAN KHAZANAH ILMU ISLAM
Oleh:
Dr Asmadi Mohamed Naim
Dekan Fakultas Keuangan dan Perbankan, Universitas Utara Malaysia (UUM)
Ada tuduhan yang menyatakan, khazanah masa silam Islam sebagai penyebab kesesatan umat karena banyak bidah (baca bid'ah) diinformasikan terkandung di dalamnya. Islam dituduh mengalami kemunduran karena berpegang teguh kepada khazanah ratusan tahun hingga ada yang ingin agar Islam perlu disusun kembali.
Kalau alasan kemunduran digunakan, penulis yakin masyarakat Malaysia yang berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah Nabi mengikuti fikih Mazhab Syafie, dan mengikuti aliran akhlak Imam al-Ghazali, adalah lebih maju dan bebas dari tekanan ekonomi Barat. Kalau dibandingkan negara Arab yang kaya minyak dan menganggap mengikuti Alquran dan Sunnah sepenuhnya, kita lebih berada di depan dari sudut kemajuan dan bebas dari ketergantungan ekonomi dengan Barat.
Kalau alasan bidah akidah yang dikaitkan, ulama sejak dari zaman ke zaman memang lebih awal menolak perbuatan bidah syirik yang menduakan Allah SWT, memuja kubur, memuja pantai, memuja syeikh, dan penambahan dalam perkara utama agama. Ulama mana yang membenarkan perlakuan seperti itu?
Namun, kalau kesesatan atau bidah yang dimaksudkan adalah karena masyarakat membaca zikir bersama-sama, berdoa bersama-sama, baca surah Yasin malam Jumat, mengadakan tahlil, dan maulid, talkin, maka ini adalah masalah cabang (furu' khilafiyyah) yang tidak pernah selesai sejak dulu.
Apakah karena isu bidah kecil, masyarakat Islam harus berpecah-belah dengan dicap sesat, masuk neraka? Padahal masyarakat Islam berhadapan dengan isu yang jauh lebih besar, yaitu kemerosotan kebangkitan Islam yang hebat pada era 80-an dan 90-an. Kemerosotan ini membawa kepada merebaknya gejala sosial, anak di luar nikah, dan fenomena murtad.
Menyusun kembali Islam dalam bentuk baru menjadi teriakan sebagian pihak dengan alasana bahwa Islam yang hakiki telah diselewengkan oleh ulama silam! Semoga Allah SWT mengampunkan mereka yang membuat tuduhan umum itu kepada ulama Islam masa lalu.
Adakah Islam itu seperti yang dipraktekkan oleh sebagian negara Arab yang membidahkan perkara cabang tadi. Kalau paket ini yang dimaksudkan, masyarakat sebenarnya dimasukkan dalam satu pertengkaran yang cukup bahaya yang terjadi sejak ratusan tahun. Banyak waktu perlu dikorbankan untuk berhadapan dengan isu sesat-menyesatkan pada permasalahan zikir, doa, tahlil, maulid, dan sebagainya.
Secara fakta, generasi sahabat Rasulullah SAW adalah golongan yang paling berotoritas dan lebih memahami penafsiran Alquran dan penjelasan hadis. Fakta ini dipegang kukuh oleh ulama di atas sifat generasi sahabat yang pernah hidup di zaman kenabian.
Gagasan mengetepikan khazanah ilmu Islam biasanya datang dari mereka yang tidak pernah mendalami khazanah itu. Tidak pernah ada anjuran dari ulama terkenal seperti Sheikh al-Buti, al-Qardawi, al-Zuhayli, al-Jaburi, al-Asyqar dan lain-lain supaya mengetepikan khazanah yang berharga itu. Tradisi ilmu ulama adalah berpegang kepada Alquran dan Sunnah.
Sekiranya sesuatu isu tidak dikatakan dalam Alquran dan Sunnah secara langsung, mereka merujuk kepada fatwa sahabat. Sekiranya tidak ada, mereka akan melihat hukum yang dikeluarkan ulama dan dalil dalam kitab mereka. Inilah tradisi ilmu ulama.
Tanpa tradisi ini, seseorang sebenarnya menafsirkan Alquran dan Sunnah mengikut akal masing-masing dan berdasarkan pemahaman dangkal setiap individu. Hal itu dapat membawa kesesatan seperti timbulnya kelompok sesat yang menafsirkan Alquran dan Sunnah di luar konteks yang sebenarnya.
Sumber Koran Republika Indonesia, 28 Februari 2007
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=284416&kat_id=411
Dr Asmadi Mohamed Naim
Dekan Fakultas Keuangan dan Perbankan, Universitas Utara Malaysia (UUM)
Ada tuduhan yang menyatakan, khazanah masa silam Islam sebagai penyebab kesesatan umat karena banyak bidah (baca bid'ah) diinformasikan terkandung di dalamnya. Islam dituduh mengalami kemunduran karena berpegang teguh kepada khazanah ratusan tahun hingga ada yang ingin agar Islam perlu disusun kembali.
Kalau alasan kemunduran digunakan, penulis yakin masyarakat Malaysia yang berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah Nabi mengikuti fikih Mazhab Syafie, dan mengikuti aliran akhlak Imam al-Ghazali, adalah lebih maju dan bebas dari tekanan ekonomi Barat. Kalau dibandingkan negara Arab yang kaya minyak dan menganggap mengikuti Alquran dan Sunnah sepenuhnya, kita lebih berada di depan dari sudut kemajuan dan bebas dari ketergantungan ekonomi dengan Barat.
Kalau alasan bidah akidah yang dikaitkan, ulama sejak dari zaman ke zaman memang lebih awal menolak perbuatan bidah syirik yang menduakan Allah SWT, memuja kubur, memuja pantai, memuja syeikh, dan penambahan dalam perkara utama agama. Ulama mana yang membenarkan perlakuan seperti itu?
Namun, kalau kesesatan atau bidah yang dimaksudkan adalah karena masyarakat membaca zikir bersama-sama, berdoa bersama-sama, baca surah Yasin malam Jumat, mengadakan tahlil, dan maulid, talkin, maka ini adalah masalah cabang (furu' khilafiyyah) yang tidak pernah selesai sejak dulu.
Apakah karena isu bidah kecil, masyarakat Islam harus berpecah-belah dengan dicap sesat, masuk neraka? Padahal masyarakat Islam berhadapan dengan isu yang jauh lebih besar, yaitu kemerosotan kebangkitan Islam yang hebat pada era 80-an dan 90-an. Kemerosotan ini membawa kepada merebaknya gejala sosial, anak di luar nikah, dan fenomena murtad.
Menyusun kembali Islam dalam bentuk baru menjadi teriakan sebagian pihak dengan alasana bahwa Islam yang hakiki telah diselewengkan oleh ulama silam! Semoga Allah SWT mengampunkan mereka yang membuat tuduhan umum itu kepada ulama Islam masa lalu.
Adakah Islam itu seperti yang dipraktekkan oleh sebagian negara Arab yang membidahkan perkara cabang tadi. Kalau paket ini yang dimaksudkan, masyarakat sebenarnya dimasukkan dalam satu pertengkaran yang cukup bahaya yang terjadi sejak ratusan tahun. Banyak waktu perlu dikorbankan untuk berhadapan dengan isu sesat-menyesatkan pada permasalahan zikir, doa, tahlil, maulid, dan sebagainya.
Secara fakta, generasi sahabat Rasulullah SAW adalah golongan yang paling berotoritas dan lebih memahami penafsiran Alquran dan penjelasan hadis. Fakta ini dipegang kukuh oleh ulama di atas sifat generasi sahabat yang pernah hidup di zaman kenabian.
Gagasan mengetepikan khazanah ilmu Islam biasanya datang dari mereka yang tidak pernah mendalami khazanah itu. Tidak pernah ada anjuran dari ulama terkenal seperti Sheikh al-Buti, al-Qardawi, al-Zuhayli, al-Jaburi, al-Asyqar dan lain-lain supaya mengetepikan khazanah yang berharga itu. Tradisi ilmu ulama adalah berpegang kepada Alquran dan Sunnah.
Sekiranya sesuatu isu tidak dikatakan dalam Alquran dan Sunnah secara langsung, mereka merujuk kepada fatwa sahabat. Sekiranya tidak ada, mereka akan melihat hukum yang dikeluarkan ulama dan dalil dalam kitab mereka. Inilah tradisi ilmu ulama.
Tanpa tradisi ini, seseorang sebenarnya menafsirkan Alquran dan Sunnah mengikut akal masing-masing dan berdasarkan pemahaman dangkal setiap individu. Hal itu dapat membawa kesesatan seperti timbulnya kelompok sesat yang menafsirkan Alquran dan Sunnah di luar konteks yang sebenarnya.
Sumber Koran Republika Indonesia, 28 Februari 2007
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=284416&kat_id=411
MEWACANA ISLAM TANPA CELA-MENCELA
Oleh Dr Asmadi Mohamed Naim
SETIAP individu mempunyai pandangan dan kefahaman tersendiri terhadap Islam. Ada kalanya pandangan individu hampir sama dengan orang lain. Kerap juga pandangan berbeza. Beruntunglah individu yang mempunyai keyakinan dan pandangan mengenai Islam, bertepatan dengan apa yang didatangkan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dalam konteks masyarakat kita hari ini, penulis melihat persoalan Islam kerap menjadi perbahasan umum, sama ada oleh pihak yang ada autoriti seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), mufti, kadi mahupun ahli akademik agama atau pendukung institusi pondok yang banyak berjasa.
Pada masa sama, ada juga golongan masyarakat umum berasakan mereka juga layak untuk mewacanakan Islam. Keghairahan masyarakat umum membincangkan inti pati Islam, apabila dilihat dari satu sudut, memberi impak positif kepada perkembangan ilmu Islam. Islam menjadi tarikan semua pihak.
Lantas semua orang ingin membicarakannya.Namun dari satu sudut lain, memberi impak negatif apabila Islam diperkatakan dan dibahaskan tanpa merujuk kepada sumber sebenar iaitu al-Quran dan sunnah berdasarkan tafsiran yang muktabar.
Selain itu, ada pula sesetengah golongan membawa budaya mencela dalam mengeluarkan pandangan. Ada terlalu taksub kepada pandangannya sehinggakan melabelkan pandangan lain sebagai pandangan sempit, jumud dan sebagainya.
Hasilnya, pihak berlawanan melabelkan pula label yang sama iaitu jumud, sempit, bangga diri dan sebagainya terhadap pihak memulakan tradisi melabel. Berapa ramai orang yang menuduh orang lain berfikiran sempit dan taksub, sebenarnya penuduh juga bersifat dengan berfikiran sempit dan taksub apabila menolak kebiasaan berbeza pandangan yang menjadi lumrah kehidupan manusia.
Fenomena mencela ini menjadi lebih kronik apabila wujudnya budaya melabel yang lebih dahsyat. Timbulnya ucapan seperti puak ini fundamentalis, tradisionalis dan konservatif. Hasilnya, perdebatan yang sepatutnya difokuskan kepada inti pati perdebatan, menjadi medan label melabel dengan pelbagai gelaran.
Berkaitan hina menghina, Allah SWT berfirman dalam Surah al-Hujarat, ayat 11 yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu memperkecilkan-kecilkan kaum lain, (kerana) boleh jadi mereka (yang diejek tersebut) lebih baik daripada mereka (yang mengejek). Dan jangan pula wanita mengejek wanita lain, kerana boleh jadi mereka (yang diejek) adalah lebih baik daripada mereka (yang mengejek). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelaran buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk selepas iman. Sesiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang zalim.”
Imam al-Qurtubi RA menghuraikan ayat di atas dengan mengungkap tradisi ulama Salaf yang berlebih-lebih menjauhi perbuatan label-melabel. Ia seperti kata Ibn Mas'ud: "Bala (diturunkan) adalah berdasarkan kata-kata, sekiranya aku mengejek-ngejek anjing, aku takut aku berubah menjadi anjing!"
Imam al-Qurtubi menyebut lagi: 'Amr bin Syarahbil berkata: "Sekiranya aku melihat seorang lelaki menyusukan kambing, dan aku mentertawakannya, aku takut melakukan perbuatan sepertinya" (Lihat al-Jami' Li Ahkam al-Quran, 8/294).
Pada pandangan penulis, adalah sesuatu yang mengecewakan sekiranya label-melabel berlaku di kalangan orang yang dilihat sebagai cendekiawan Islam oleh masyarakat umum. Amat malang lagi apabila melihat golongan ini terbabas daripada wacana ilmu kepada wacana label-melabel dan hina menghina. Ungkapan seperti: "Ini pandangan konservatif dan ini tradisionalis" atau "ini adalah fundamentalis" adalah ungkapan yang lebih kepada mencela daripada berhujah secara ilmiah.
Rasulullah SAW bersabda mengenai fenomena label melabel dan hina menghina ini iaitu al-Mustaban ma qala, fa 'ala al-badi` ma lam ya'tadi al-mazlum, bermaksud: "Dua yang mencela terhadap apa yang diperkatakan, dan terhadap orang yang mula mencela (dosa cela mencela) selagi orang yang dizalimi (iaitu yang dicela) tidak melampaui batas" (Riwayat Muslim, no 2587).
Imam Nawawi menghuraikan hadis di atas: Sesungguhnya dosa cela-mencela antara kedua-duanya dipikul orang yang memulakan celaan, kecuali sekiranya orang dicela melampaui batas dalam celaannya.
Label melabel bukan tradisi ulama Salaf dan Khalaf, lebih-lebih lagi sekiranya berbeza pandangan kepada persoalan ranting. Mereka mengutamakan inti pati perbahasan berbanding dengan label melabel.
Sebagai contohnya, bagaimana Imam Nawawi RA membahaskan isu memberi salam kepada bukan Islam, Imam Nawawi memperkatakannya dengan cukup tertib: "Mazhab kami, diharamkan menegur mereka (bukan Islam) dengan salam (memberi salam), dan wajib menjawab salam mereka (bukan Islam) dengan berkata: "Waalaikum', atau 'alaikum' saja".
Beliau berkata lagi: "Dalil kami ketika al-ibtida` (tidak memberi salam kepada bukan Islam ketika berjumpa) ialah sabda Rasulullah SAW: "Jangan kamu memberi salam kepada Yahudi dan Nasrani". Dan ketika membalas salam mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Katakan, waalaikum".
Sementara, pandangan yang bertentangan (boleh memberi salam kepada bukan Islam) berpegang kepada dalil umum arahan menyebarkan salam. Namun hujah ini ditolak dengan baik oleh Imam Nawawi Rahimahullah: "Ia (boleh memberi salam kepada bukan Islam) adalah hujah yang batil, kerana ia adalah ‘am makhsus’ (perkara umum yang mempunyai khusus) dengan adanya hadis: "
Jangan kamu mulakan dengan memberi salam terhadap Yahudi dan Nasrani".Penghujahan Imam Nawawi terus kepada inti pati dan kandungan perbincangan. Beliau tidak bergerak ke arah mengutuk atau memaki peribadi empunya pandangan yang berbeza, lebih-lebih lagi dalam persoalan ranting atau cabang.
Perkara yang dikemukakan ialah mengemukakan hujah, membahaskannya dan menolak penghujahan pihak bertentangan. Inilah tradisi penghujahan ulama yang harmoni dan penuh dengan suasana ilmiah.
Pada saya, wacana ilmu Islam sememangnya mempunyai bahasa cukup indah ketika mengungkapkan etika berbeza pendapat (adab al-khilaf). Apabila ulama silam membahaskan sesuatu isu, kita dapat rasakan kehebatan setiap seorang daripada mereka berhujah melalui mutiara ilmu yang diperdebatkan. Inilah wacana ilmu Islam sebenar. Wacana ilmu Islam semasa perlu dikembalikan ke landasan sebenar.Adalah diharapkan keghairahan memberikan pandangan tidak membawa kepada lahirnya bibit perpecahan dan ditertawakan mereka yang sememangnya mempunyai persepsi negatif terhadap Islam dan penganutnya.
Dr Asmadi ialah Pensyarah Kanan Kewangan dan Perbankan Islam, merangkap Timbalan Dekan Akademik, Fakulti Kewangan dan Perbankan, Universiti Utara Malaysia (UUM)
Sumber Berita Harian 9 Mac 2007
http://websekolah.bharian.com.my/m/BHarian/Friday/Agama/20070308224319/Article/
SETIAP individu mempunyai pandangan dan kefahaman tersendiri terhadap Islam. Ada kalanya pandangan individu hampir sama dengan orang lain. Kerap juga pandangan berbeza. Beruntunglah individu yang mempunyai keyakinan dan pandangan mengenai Islam, bertepatan dengan apa yang didatangkan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dalam konteks masyarakat kita hari ini, penulis melihat persoalan Islam kerap menjadi perbahasan umum, sama ada oleh pihak yang ada autoriti seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim), mufti, kadi mahupun ahli akademik agama atau pendukung institusi pondok yang banyak berjasa.
Pada masa sama, ada juga golongan masyarakat umum berasakan mereka juga layak untuk mewacanakan Islam. Keghairahan masyarakat umum membincangkan inti pati Islam, apabila dilihat dari satu sudut, memberi impak positif kepada perkembangan ilmu Islam. Islam menjadi tarikan semua pihak.
Lantas semua orang ingin membicarakannya.Namun dari satu sudut lain, memberi impak negatif apabila Islam diperkatakan dan dibahaskan tanpa merujuk kepada sumber sebenar iaitu al-Quran dan sunnah berdasarkan tafsiran yang muktabar.
Selain itu, ada pula sesetengah golongan membawa budaya mencela dalam mengeluarkan pandangan. Ada terlalu taksub kepada pandangannya sehinggakan melabelkan pandangan lain sebagai pandangan sempit, jumud dan sebagainya.
Hasilnya, pihak berlawanan melabelkan pula label yang sama iaitu jumud, sempit, bangga diri dan sebagainya terhadap pihak memulakan tradisi melabel. Berapa ramai orang yang menuduh orang lain berfikiran sempit dan taksub, sebenarnya penuduh juga bersifat dengan berfikiran sempit dan taksub apabila menolak kebiasaan berbeza pandangan yang menjadi lumrah kehidupan manusia.
Fenomena mencela ini menjadi lebih kronik apabila wujudnya budaya melabel yang lebih dahsyat. Timbulnya ucapan seperti puak ini fundamentalis, tradisionalis dan konservatif. Hasilnya, perdebatan yang sepatutnya difokuskan kepada inti pati perdebatan, menjadi medan label melabel dengan pelbagai gelaran.
Berkaitan hina menghina, Allah SWT berfirman dalam Surah al-Hujarat, ayat 11 yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, janganlah kamu memperkecilkan-kecilkan kaum lain, (kerana) boleh jadi mereka (yang diejek tersebut) lebih baik daripada mereka (yang mengejek). Dan jangan pula wanita mengejek wanita lain, kerana boleh jadi mereka (yang diejek) adalah lebih baik daripada mereka (yang mengejek). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelaran buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk selepas iman. Sesiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang yang zalim.”
Imam al-Qurtubi RA menghuraikan ayat di atas dengan mengungkap tradisi ulama Salaf yang berlebih-lebih menjauhi perbuatan label-melabel. Ia seperti kata Ibn Mas'ud: "Bala (diturunkan) adalah berdasarkan kata-kata, sekiranya aku mengejek-ngejek anjing, aku takut aku berubah menjadi anjing!"
Imam al-Qurtubi menyebut lagi: 'Amr bin Syarahbil berkata: "Sekiranya aku melihat seorang lelaki menyusukan kambing, dan aku mentertawakannya, aku takut melakukan perbuatan sepertinya" (Lihat al-Jami' Li Ahkam al-Quran, 8/294).
Pada pandangan penulis, adalah sesuatu yang mengecewakan sekiranya label-melabel berlaku di kalangan orang yang dilihat sebagai cendekiawan Islam oleh masyarakat umum. Amat malang lagi apabila melihat golongan ini terbabas daripada wacana ilmu kepada wacana label-melabel dan hina menghina. Ungkapan seperti: "Ini pandangan konservatif dan ini tradisionalis" atau "ini adalah fundamentalis" adalah ungkapan yang lebih kepada mencela daripada berhujah secara ilmiah.
Rasulullah SAW bersabda mengenai fenomena label melabel dan hina menghina ini iaitu al-Mustaban ma qala, fa 'ala al-badi` ma lam ya'tadi al-mazlum, bermaksud: "Dua yang mencela terhadap apa yang diperkatakan, dan terhadap orang yang mula mencela (dosa cela mencela) selagi orang yang dizalimi (iaitu yang dicela) tidak melampaui batas" (Riwayat Muslim, no 2587).
Imam Nawawi menghuraikan hadis di atas: Sesungguhnya dosa cela-mencela antara kedua-duanya dipikul orang yang memulakan celaan, kecuali sekiranya orang dicela melampaui batas dalam celaannya.
Label melabel bukan tradisi ulama Salaf dan Khalaf, lebih-lebih lagi sekiranya berbeza pandangan kepada persoalan ranting. Mereka mengutamakan inti pati perbahasan berbanding dengan label melabel.
Sebagai contohnya, bagaimana Imam Nawawi RA membahaskan isu memberi salam kepada bukan Islam, Imam Nawawi memperkatakannya dengan cukup tertib: "Mazhab kami, diharamkan menegur mereka (bukan Islam) dengan salam (memberi salam), dan wajib menjawab salam mereka (bukan Islam) dengan berkata: "Waalaikum', atau 'alaikum' saja".
Beliau berkata lagi: "Dalil kami ketika al-ibtida` (tidak memberi salam kepada bukan Islam ketika berjumpa) ialah sabda Rasulullah SAW: "Jangan kamu memberi salam kepada Yahudi dan Nasrani". Dan ketika membalas salam mereka, Rasulullah SAW bersabda: "Katakan, waalaikum".
Sementara, pandangan yang bertentangan (boleh memberi salam kepada bukan Islam) berpegang kepada dalil umum arahan menyebarkan salam. Namun hujah ini ditolak dengan baik oleh Imam Nawawi Rahimahullah: "Ia (boleh memberi salam kepada bukan Islam) adalah hujah yang batil, kerana ia adalah ‘am makhsus’ (perkara umum yang mempunyai khusus) dengan adanya hadis: "
Jangan kamu mulakan dengan memberi salam terhadap Yahudi dan Nasrani".Penghujahan Imam Nawawi terus kepada inti pati dan kandungan perbincangan. Beliau tidak bergerak ke arah mengutuk atau memaki peribadi empunya pandangan yang berbeza, lebih-lebih lagi dalam persoalan ranting atau cabang.
Perkara yang dikemukakan ialah mengemukakan hujah, membahaskannya dan menolak penghujahan pihak bertentangan. Inilah tradisi penghujahan ulama yang harmoni dan penuh dengan suasana ilmiah.
Pada saya, wacana ilmu Islam sememangnya mempunyai bahasa cukup indah ketika mengungkapkan etika berbeza pendapat (adab al-khilaf). Apabila ulama silam membahaskan sesuatu isu, kita dapat rasakan kehebatan setiap seorang daripada mereka berhujah melalui mutiara ilmu yang diperdebatkan. Inilah wacana ilmu Islam sebenar. Wacana ilmu Islam semasa perlu dikembalikan ke landasan sebenar.Adalah diharapkan keghairahan memberikan pandangan tidak membawa kepada lahirnya bibit perpecahan dan ditertawakan mereka yang sememangnya mempunyai persepsi negatif terhadap Islam dan penganutnya.
Dr Asmadi ialah Pensyarah Kanan Kewangan dan Perbankan Islam, merangkap Timbalan Dekan Akademik, Fakulti Kewangan dan Perbankan, Universiti Utara Malaysia (UUM)
Sumber Berita Harian 9 Mac 2007
http://websekolah.bharian.com.my/m/BHarian/Friday/Agama/20070308224319/Article/
Subscribe to:
Posts (Atom)